Kamis, 19 Juni 2014

Al Qur an Obat Segala Penyakit

Penulis: Al-Ustadz Abu Karimah Askari bin Jamal Al-Bugisi

وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَلاَ يَزِيْدُ الظَّالِمِيْنَ إِلاَّ خَسَارًا

“Dan Kami turunkan dari Al-Qur`an suatu yang menjadi penyembuh dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al-Qur`an itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang dzalim selain kerugian.” (Al-Isra`: 82)

Penjelasan Beberapa Mufradat Ayat

نُنَزِّلُ

“Kami turunkan.” Jumhur ahli qiraah membacanya dengan diawali nun dan bertasydid. Adapun Abu ‘Amr membacanya dengan tanpa tasydid (نُنْزِلُ). Sedangkan Mujahid membacanya dengan diawali huruf ya` dan tanpa tasydid (يُنْزِلُ). Al-Marwazi juga meriwayatkan demikian dari Hafs. (Tafsir Al-Qurthubi, 10/315 dan Fathul Qadir, Asy-Syaukani, 3/253)

مِنَ الْقُرْآنِ

“dari Al-Qur`an.” Kata min (مِنْ) dalam ayat ini, menurut pendapat yang rajih (kuat), menjelaskan jenis dan spesifikasi yang dimiliki Al-Qur`an. Kata min di sini tidak bermakna “sebagian”, yang mengesankan bahwa di antara ayat-ayat Al-Qur`an ada yang tidak termasuk syifa` (penawar), sebagaimana yang dirajihkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullahu. Kata min pada ayat ini seperti halnya yang terdapat dalam firman-Nya:

وَعَدَ اللهُ الَّذِيْنَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي اْلأَرْضِ

“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang shalih bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi...” (An-Nur: 55)

Kata min dalam lafadz مِنْكُمْ tidaklah bermakna sebagian, sebab mereka seluruhnya adalah orang-orang yang beriman dan beramal shalih. (Lihat Tafsir Al-Qurthubi, 10/316, Fathul Qadir, 3/253, dan At-Thibb An-Nabawi, Ibnul Qayyim, hal. 138)

شِفَاءٌ

“Penyembuh.” Penyembuh yang dimaksud di sini meliputi penyembuh atas segala penyakit, baik rohani maupun jasmani, sebagaimana yang akan dijelaskan dalam tafsirnya.

Penjelasan Tafsir Ayat
Ibnu Katsir rahimahullahu berkata: “Allah Subhanahu wa Taala mengabarkan tentang kitab-Nya yang diturunkan kepada Rasul-Nya Shallallahu alaihi wa sallam, yaitu Al-Qur`an, yang tidak terdapat kebatilan di dalamnya baik dari sisi depan maupun belakang, yang diturunkan dari Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji, bahwa sesungguhnya Al-Qur`an itu merupakan penyembuh dan rahmat bagi kaum mukminin. Yaitu menghilangkan segala hal berupa keraguan, kemunafikan, kesyirikan, penyimpangan, dan penyelisihan yang terdapat dalam hati. Al-Qur`an-lah yang menyembuhkan itu semua. Di samping itu, ia merupakan rahmat yang dengannya membuahkan keimanan, hikmah, mencari kebaikan dan mendorong untuk melakukannya. Hal ini tidaklah didapatkan kecuali oleh orang yang mengimani, membenarkan, serta mengikutinya. Bagi orang yang seperti ini, Al-Qur`an akan menjadi penyembuh dan rahmat.
Adapun orang kafir yang mendzalimi dirinya sendiri, maka tatkala mendengarkan Al-Qur`an tidaklah bertambah baginya melainkan semakin jauh dan semakin kufur. Dan sebab ini ada pada orang kafir itu, bukan pada Al-Qur`annya. Seperti firman Allah Subhanahu wa Taala:

قُلْ هُوَ لِلَّذِيْنَ آمَنُوا هُدًى وَشِفَاءٌ وَالَّذِيْنَ لاَ يُؤْمِنُوْنَ فِي آذَانِهِمْ وَقْرٌ وَهُوَ عَلَيْهِمْ عَمًى أُولَئِكَ يُنَادَوْنَ مِنْ مَكَانٍ بَعِيْدٍ

“Katakanlah: ‘Al-Qur`an itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang yang beriman. Dan orang-orang yang tidak beriman pada telinga mereka ada sumbatan, sedang Al-Qur`an itu suatu kegelapan bagi mereka. Mereka itu adalah (seperti) orang-orang yang dipanggil dari tempat yang jauh’.” (Fushshilat: 44)
Dan Allah Subhanahu wa Taala juga berfirman:

وَإِذَا مَا أُنْزِلَتْ سُوْرَةٌ فَمِنْهُمْ مَنْ يَقُوْلُ أَيُّكُمْ زَادَتْهُ هَذِهِ إِيْمَانًا فَأَمَّا الَّذِيْنَ آمَنُوا فَزَادَتْهُمْ إِيْمَانًا وَهُمْ يَسْتَبْشِرُوْنَ. وَأَمَّا الَّذِيْنَ فِيْ قُلُوْبِهِمْ مَرَضٌ فَزَادَتْهُمْ رِجْسًا إِلَى رِجْسِهِمْ وَمَاتُوا وَهُمْ كَافِرُوْنَ

“Dan apabila diturunkan suatu surat, maka di antara mereka (orang-orang munafik) ada yang berkata: ‘Siapakah di antara kamu yang bertambah imannya dengan (turunnya) surat ini?’ Adapun orang-orang yang beriman, maka surat ini menambah imannya, sedang mereka merasa gembira. Adapun orang-orang yang di dalam hati mereka ada penyakit, maka dengan surat itu bertambah kekafiran mereka, di samping kekafirannya (yang telah ada) dan mereka mati dalam keadaan kafir.” (At-Taubah: 124-125)
Dan masih banyak ayat-ayat yang menjelaskan tentang hal ini.” (Tafsir Ibnu Katsir, 3/60)
Al-’Allamah Abdurrahman As-Sa’di rahimahullahu berkata pula dalam menjelaskan ayat ini:
“Al-Qur`an mengandung penyembuh dan rahmat. Dan ini tidak berlaku untuk semua orang, namun hanya bagi kaum mukminin yang membenarkan ayat-ayat-Nya dan berilmu dengannya. Adapun orang-orang dzalim yang tidak membenarkan dan tidak mengamalkannya, maka ayat-ayat tersebut tidaklah menambah baginya kecuali kerugian. Karena, hujjah telah ditegakkan kepadanya dengan ayat-ayat itu.
Penyembuhan yang terkandung dalam Al-Qur`an bersifat umum meliputi penyembuhan hati dari berbagai syubhat, kejahilan, berbagai pemikiran yang merusak, penyimpangan yang jahat, dan berbagai tendensi yang batil. Sebab ia (Al-Qur`an) mengandung ilmu yakin, yang dengannya akan musnah setiap syubhat dan kejahilan. Ia merupakan pemberi nasehat serta peringatan, yang dengannya akan musnah setiap syahwat yang menyelisihi perintah Allah Subhanahu wa Taala. Di samping itu, Al-Qur`an juga menyembuhkan jasmani dari berbagai penyakit.
Adapun rahmat, maka sesungguhnya di dalamnya terkandung sebab-sebab dan sarana untuk meraihnya. Kapan saja seseorang melakukan sebab-sebab itu, maka dia akan menang dengan meraih rahmat dan kebahagiaan yang abadi, serta ganjaran kebaikan, cepat ataupun lambat.” (Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 465)

Al-Qur`an Menyembuhkan Penyakit Jasmani
Suatu hal yang menjadi keyakinan setiap muslim bahwa Al-Qur`anul Karim diturunkan Allah Subhanahu wa Taala untuk memberi petunjuk kepada setiap manusia, menyembuhkan berbagai penyakit hati yang menjangkiti manusia, bagi mereka yang diberi hidayah oleh Allah Subhanahu wa Taala dan dirahmati-Nya. Namun apakah Al-Qur`an dapat menyembuhkan penyakit jasmani?
Dalam hal ini, para ulama menukilkan dua pendapat: Ada yang mengkhususkan penyakit hati; Ada pula yang menyebutkan penyakit jasmani dengan cara meruqyah, ber-ta’awudz, dan semisalnya. Ikhtilaf ini disebutkan Al-Qurthubi dalam Tafsir-nya. Demikian pula disebutkan Asy-Syaukani dalam Fathul Qadir, lalu beliau berkata: “Dan tidak ada penghalang untuk membawa ayat ini kepada dua makna tersebut.” (Fathul Qadir, 3/253)
Pendapat ini semakin ditegaskan Syaikhul Islam Ibnul Qayyim rahimahullahu dalam kitabnya Zadul Ma’ad:
“Al-Qur`an adalah penyembuh yang sempurna dari seluruh penyakit hati dan jasmani, demikian pula penyakit dunia dan akhirat. Dan tidaklah setiap orang diberi keahlian dan taufiq untuk menjadikannya sebagai obat. Jika seorang yang sakit konsisten berobat dengannya dan meletakkan pada sakitnya dengan penuh kejujuran dan keimanan, penerimaan yang sempurna, keyakinan yang kokoh, dan menyempurnakan syaratnya, niscaya penyakit apapun tidak akan mampu menghadapinya selama-lamanya. Bagaimana mungkin penyakit tersebut mampu menghadapi firman Dzat yang memiliki langit dan bumi. Jika diturunkan kepada gunung, maka ia akan menghancurkannya. Atau diturunkan kepada bumi, maka ia akan membelahnya. Maka tidak satu pun jenis penyakit, baik penyakit hati maupun jasmani, melainkan dalam Al-Qur`an ada cara yang membimbing kepada obat dan sebab (kesembuhan) nya.” (Zadul Ma’ad, 4/287)
Berikut ini kami sebutkan beberapa riwayat berkenaan tentang pengobatan dengan Al-Qur`an.
Di antaranya adalah apa yang diriwayatkan Al-Bukhari, Muslim, dan lainnya dari hadits ‘Aisyah radhiallahu anha.Beliau radhiallahu anha berkata: “Adalah Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam terkena sihir1, sehingga beliau menyangka bahwa beliau mendatangi istrinya padahal tidak mendatanginya.
Lalu beliau berkata: ‘Wahai ‘Aisyah, tahukah kamu bahwa Allah Subhanahu wa Taala telah mengabulkan permohonanku? Dua lelaki telah datang kepadaku. Kemudian salah satunya duduk di sebelah kepalaku dan yang lain di sebelah kakiku. Yang di sisi kepalaku berkata kepada yang satunya: ‘Kenapa beliau?’
Dijawab: ‘Terkena sihir.’
Yang satu bertanya: ‘Siapa yang menyihirnya?’
Dijawab: ‘Labid bin Al-A’sham, lelaki dari Banu Zuraiq sekutu Yahudi, ia seorang munafiq.’
(Yang satu) bertanya: ‘Dengan apa?’
Dijawab: ‘Dengan sisir, rontokan rambut.’
(Yang satu) bertanya: ‘Di mana?’
Dijawab: ‘Pada mayang korma jantan di bawah batu yang ada di bawah sumur Dzarwan’.”
Aisyah radhiallahu anha lalu berkata: “Nabi lalu mendatangi sumur tersebut hingga beliau mengeluarkannya. Beliau lalu berkata: ‘Inilah sumur yang aku diperlihatkan seakan-akan airnya adalah air daun pacar dan pohon kormanya seperti kepala-kepala setan’. Lalu dikeluarkan. Aku bertanya: ‘Mengapa engkau tidak mengeluarkannya (dari mayang korma jantan tersebut, pen.)?’ Beliau menjawab: ‘Demi Allah, sungguh Allah telah menyembuhkanku dan aku membenci tersebarnya kejahatan di kalangan manusia’.”
Hadits ini diriwayatkan Al-Bukhari dalam Shahih-nya (kitab At-Thib, bab Hal Yustakhrajus Sihr? jilid 10, no. 5765, bersama Al-Fath). Juga dalam Shahih-nya (kitab Al-Adab, bab Innallaha Ya`muru Bil ‘Adl, jilid 10, no. 6063). Juga diriwayatkan oleh Al-Imam Asy-Syafi’i sebagaimana yang terdapat dalam Musnad Asy-Syafi’i (2/289, dari Syifa`ul ‘Iy), Al-Asfahani dalam Dala`ilun Nubuwwah (170/210), dan Al-Lalaka`i dalam Syarah Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah (2/2272). Namun ada tambahan bahwa ‘Aisyah berkata: “Dan turunlah (firman Allah Subhanahu wa Taala):

قُلْ أَعُوْذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ. مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ

Hingga selesai bacaan surah tersebut.”
Demikian pula yang diriwayatkan Al-Imam Bukhari rahimahullahu dalam Shahih-nya, dari hadits Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu anhu, beliau berkata:
“Sekelompok2 shahabat Nabi berangkat dalam suatu perjalanan yang mereka tempuh. Singgahlah mereka di sebuah kampung Arab. Mereka pun meminta agar dijamu sebagai tamu, namun penduduk kampung tersebut enggan menjamu mereka.
Selang beberapa waktu kemudian, pemimpin kampung tersebut terkena sengatan (kalajengking). Penduduk kampung tersebut pun berusaha mencari segala upaya penyembuhan, namun sedikitpun tak membuahkan hasil. Sebagian mereka ada yang berkata: ‘Kalau sekiranya kalian mendatangi sekelompok orang itu (yaitu para shahabat), mungkin sebagian mereka ada yang memiliki sesuatu.’
Mereka pun mendatanginya, lalu berkata: “Wahai rombongan, sesungguhnya pemimpin kami tersengat (kalajengking). Kami telah mengupayakan segala hal, namun tidak membuahkan hasil. Apakah salah seorang di antara kalian memiliki sesuatu? Sebagian shahabat menjawab: ‘Iya. Demi Allah, aku bisa meruqyah. Namun demi Allah, kami telah meminta jamuan kepada kalian namun kalian tidak menjamu kami. Maka aku tidak akan meruqyah untuk kalian hingga kalian memberikan upah kepada kami.’
Mereka pun setuju untuk memberi upah beberapa ekor kambing3. Maka dia (salah seorang shahabat) pun meludahinya dan membacakan atas pemimpin kaum itu Alhamdulillahi rabbil ‘alamin (Al-Fatihah). Pemimpin kampung tersebut pun merasa terlepas dari ikatan, lalu dia berjalan tanpa ada gangguan lagi.
Mereka lalu memberikan upah sebagaimana telah disepakati. Sebagian shahabat berkata: ‘Bagilah.’ Sedangkan yang meruqyah berkata: ‘Jangan kalian lakukan, hingga kita menghadap Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam lalu kita menceritakan kepadanya apa yang telah terjadi. Kemudian menunggu apa yang beliau perintahkan kepada kita.’
Merekapun menghadap Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam kemudian melaporkan hal tersebut. Maka beliau bersabda: ‘Tahu dari mana kalian bahwa itu (Al-Fatihah, pen.) memang ruqyah?’ Lalu beliau berkata: ‘Kalian telah benar. Bagilah (upahnya) dan berilah untukku bagian bersama kalian’, sambil beliau Shallallahu alaihi wa sallam tertawa.”
Adapun hadits yang diriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

خَيْرُ الدَّوَاءِ الْقُرْآنُ

“Sebaik-baik obat adalah Al-Qur`an.”
Dan hadits:

الْقُرْآنُ هُوَ الدَّوَاءُ

“Al-Qur`an adalah obat.”
Keduanya adalah hadits yang dha’if, telah dilemahkan oleh Al-Allamah Al-Albani rahimahullahu dalam Dha’if Al-Jami’ Ash-Shagir, no. 2885 dan 4135.

Membuka Klinik Ruqyah
Di antara penyimpangan terkait dengan ruqyah adalah menjadikannya sebagai profesi, seperti halnya dokter atau bidan yang membuka praktek khusus. Ini merupakan amalan yang menyelisihi metode ruqyah di zaman Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Asy-Syaikh Shalih Alus Syaikh berkata ketika menyebutkan beberapa penyimpangan dalam meruqyah:
“Pertama, dan yang paling besar (kesalahannya), adalah menjadikan bacaan (untuk penyembuhan) atau ruqyah sebagai sarana untuk mencari nafkah, di mana dia memfokuskan diri secara penuh untuk itu. Memang telah dimaklumi bahwa manusia membutuhkan ruqyah. Namun memfokuskan diri untuk itu, bukanlah bagian dari petunjuk para shahabat di masanya. Padahal di antara mereka ada yang sering meruqyah. Namun bukan demikian petunjuk para shahabat dan tabi’in.
(Menjadikan meruqyah sebagai profesi) baru muncul di masa-masa belakangan. Petunjuk Salaf dan bimbingan As-Sunnah dalam meruqyah adalah seseorang memberikan manfaat kepada saudara-saudaranya, baik dengan upah ataupun tidak. Namun janganlah dia memfokuskan diri dan menjadikannya sebagai profesi seperti halnya dokter yang mengkhususkan dirinya (pada perkara ini). Ini baru dari sudut pandang bahwa hal tersebut tidak terdapat (contohnya) pada zaman generasi pertama.
Demikian pula dari sisi lainnya. Apa yang kami saksikan pada orang-orang yang mengkhususkan diri (dalam meruqyah) telah menimbulkan banyak hal terlarang. Siapa yang mengkhususkan dirinya untuk meruqyah, niscaya engkau mendapatinya memiliki sekian penyimpangan. Sebab dia butuh prasyarat-prasyarat tertentu yang harus dia tunaikan dan yang harus dia tinggalkan. Serta ‘menjual’ tanpa petunjuk. Barangsiapa meruqyah melalui kaset-kaset, suara-suara, di mana dia membaca di sebuah kamar, sementara speaker berada di kamar yang lain, dan yang semisalnya, merupakan hal yang menyelisihi nash. Ini sepantasnya dicegah untuk menutup pintu (penyimpangan). Sebab sangat mungkin akan menjurus kepada hal-hal tercela dari para peruqyah yang mempopulerkan perkara-perkara yang terlarang atau yang tidak diperkenankan syariat. (Ar-Ruqa Wa Ahkamuha, Asy-Syaikh Shalih Alus Syaikh, hal. 20-21)

1 Sebagian para pengekor hawa nafsu dari kalangan orientalis dan ahli bid’ah mengingkari hadits yang menjelaskan bahwa Nabi Shallallahu alaihi wa sallam pernah terkena sihir, dan berusaha menolaknya dengan berbagai alasan batil. Dan telah kami bantah –walhamdulillah- para penolak hadits ini dalam sebuah kitab yang berjudul Membedah Kebohongan Ali Umar Al-Habsyi Ar-Rafidhi, Bantahan ilmiah terhadap kitab: Benarkah Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam pernah tersihir? Dan kami membahas secara rinci menurut ilmu riwayat maupun dirayah hadits. Silahkan merujuk kepada kitab tersebut.
2 Dalam riwayat lain mereka berjumlah 30 orang.
3 Dalam riwayat lain: 30 ekor kambing, sesuai jumlah mereka.

Sumber : http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=360

Mengapa dan Apa itu Salafy

Penulis: Syaikh Salim Al Hilali

Upaya penyaringan terhadap segala hal yang bukan berasal dari ajaran Islam, baik dalam hal Aqidah, Ahkam (hukum) maupun Akhlaq, selayaknya terus dilakukan, agar Islam kembali bersih berseri, murni dalam naungan risalah sebagaimana risalah yang telah diturunkan kepada Muhammad Shalallahu alaihi wa Sallam dan diajarkan pada Sahabatnya, yang diteruskan oleh pengikutnya hingga hari kiamat.

Maka untuk tujuan tersebut, maka perlu digencarkan pendidikan atas generasi muslim dengan Islam yang murni dengan Tarbiyah Imaniyyah (pendidikan keimanan), sehingga membekas di lubuk hati para kader Islam. Maka disinilah peran Dakwah Salafiyyah, yang berpegang dengan pemahaman Rasulullah beserta Sahabatnya, yang terus berupaya menegakkan tonggak Islam di atas tonggak yang mengokohkan Islam di masa lalu.

Menjadi suatu keharusan mutlak bagi setiap Muslim, yang menginginkan kesuksesan dan merindukan kehidupan yang mulia, serta kemenangan di dunia dan di akhirat, bahwa dalam memahami Al Quran dan As Sunnah yang shahih harus dengan pemahaman Muslimin yang terbaik (Salaful Ummah) yaitu para Sahabat Rasulullah dan Tabiin (murid Sahabat), serta siapapun yang mengikuti jalan mereka dengan baik hingga hari kiamat.

Dipilihnya metode ini, karena tidak dapat dibandingkan (dengan siapaun, selain dengan Rasulullah) kelurusan, kebenarannya, dalam fikrah, pemahaman dan manhaj yang lebih benar dan lebih lurus dibanding pemahaman dan manhaj Salafus Shalih (jalannya para Salaf yakni Sahabat Rasulullah, Tabiin dan Pengikutnya, yang Shalih hingga hari kiamat).

Oleh karena itu tidak akan pernah bisa baik kehidupan umat yang akhir ini kecuali dengan apa yang telah menjadikan baik generasi awal.
Apabila kita teliti dengan seksama dalil-dalil dari Al Quran maupun As Sunnah serta ijma dan qiyas maka bisa disimpulkan dari dalil-dalil tersebut tentang wajibnya memahami Al Quran dan As Sunnah dalam bimbingan manhaj Salafus Sholih, karena itu merupakan pemahaman yang disepakati kebenarannya sepanjang abad perjalanan dakwah ini.

Maka itu tidak dibenarkan bagi siapa saja, setinggi apapun kedudukannya, memahami Islam ini selain pemahaman Salafus Sholih (pemahamannya dapat dilihat di tafsir Al Quran karya para Sahabat, penjelasan hadits dalam kitab-kitab Hadist dan tulisan-tulisan para Sahabat & pengikutnya). Dan siapapun juga yang membenci pemahaman Salaf lalu menggantinya dengan bidah-bidah orang belakangan (orang-orang sesudah generasi Salaf ) yang diracuni dengan berbagai pemahaman yang membahayakan dan yang tidak selamat dari pemahaman asing, akan mengakibatkan tercerai-berainya kamu muslimin.
Sesungguhnya Salafus Shalih Radiyallahu anhum telah nyata kebaikan mereka baik dalam nash maupun istimbat, Allah berfirman dalam surat At-Taubah ayat 100. "Dan generasi yang terdahulu dan pertama-tama (masuk Islam) diantara kaum Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah telah ridha kepada mereka (Muhajirin & Anshar = Sahabat/Salafus Sholih) dan mereka ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya mereka kekal didalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang agung. Dengan dalil ayat ini (QS At Taubah 100) dapat diambil pemahaman bahwa Allah Sang Pencipta telah memuji terhadap mereka yang mengikuti kepada sebaik-baik manusia. Telah diketahui bahwa apabila sebaik-baik manusia itu mengatakan suatu perkataan, kemudian ada seseorang yang mengikuti mereka, maka dia wajib untuk mendapatkan pujian dan berhak untuk mendapatkan keridhaan.

Kalau seandainnya sikap ittiba mereka tidak membedakan dengan selain mereka (yang tidak ittiba) maka dia tidaklah berhak mendapatkan pujian dan keridhaan. Siapakah sebaik-baik manusia itu? Mereka adalah para shahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, sebagaimana disebutkan dalam Al Quran surat Al Bayyinah : 7 "Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal shalih merekalah sebaik-baik manusia". Allah berfirman dalam surat Ali Imran : 110 : "Kalian adalah umat terbaik yang telah ditampilkan untuk manusia, kalian telah beramar makruf dan bernahi munkar dan beriman kepada Allah".

Dari sini kita mendapatkan petunjuk bahwa Allah telah memuji dan menyatakan keutamaan mereka (Sahabat) atas segala umat, dan apabila ingin dipuji ALLAH juga, maka ummat ini harus istiqamah dalam segala hal mengikuti Salafus Sholih.
Disamping itu Salafus Sholih sesungguhnya memang tidak pernah menyimpang dari cahaya (petunjuk Ilmu Al Quran dan Sunnah) yang terang benderang (Al Haq) ini. Maka jika ada yang berkata :"Ini (gelar sebaik-baik umat, pen.) bersifat umum dalam umat ini, tidak hanya terbatas pada generasi Sahabat saja,"saya katakan bahwa mereka (para sahabat) adalah obyek pembicaraan yang pertama, dan orang yang mengikuti mereka dengan baik tidak masuk dalam pembicaraan ayat diatas, kecuali kalau ada penjelasan dengan qiyas atau dalil lain sebagaimana dalam dalil pertama.

Secara umum dan ini yang benar, Sahabat adalah yang pertama kali masuk dalam obyek pembicaraan karena merekalah yang pertama kali mengambil ilmu dan amal langsung dari Rasullullah Shalallahu alaihi wa salam tanpa perantara, dan merekalah yang mendapat kabar gembira dengan wahyu ini.
Oleh karena itu, merekalah yang paling pertama masuk dalam pembicaraan ayat ini dibanding yang lain disebabkan sifat-sifat yang telah diberikan kecuali kepada mereka (para Sahabat). Pun kecocokan sifat dengan pensifatan Allah adalah merupakan bukti bahwa mereka lebih berhak mendapatkan pujian dari pada yang lain. Sabda Rasullullah Shalallahu alaihi wa salam : "Sebaik-baik manusia adalah generasiku (generasi Rasulullah & Shahabat), kemudian orang-orang sesudah mereka (Tabiin) kemudian orang-orang sesudah mereka (Tabiut Tabiin.). Sesudah itu akan datang kaum yang kesaksian mereka mendahului sumpahnya dan sumpahnya mendahului kesaksiannya." (HR. Bukhari IV/189, Muslim VII/184-185, Ahmad I/424 dll).

Apakah kebaikan yang ditetapkan kepada para Sahabat yang dimaksudkan adalah dalam hal bentuk mereka? Atau jasad mereka, harta mereka, tempat tinggal mereka, atau ?? Tidak diragukan lagi bagi orang yang memiliki akal yang sempurna, memahami Al Quran dan As Sunnah dengan benar, bahwa bukan itu semua yang dimaksudkan disini, sama sekali bukan.

Rasulullah Shalallahu alaihi wa salam tidaklah berbicara dengan hawa nafsunya. Apa saja yang berasal darinya adalah Ar-Rusyd (Al Haq) dan Al Huda (petunjuk). Para sahabat semuanya adil (jujur). Mereka tidak berbicara kecuali dengan jujur dan tidak beramal kecuali dengan haq. Demikian para sahabat. Mengikuti mereka akan memberi keselamatan dari kegelapan syahwat (kebrutalan hawa nafsu) dan subhat (bahaya pengaburan), dan siapapun yang berpaling dari pemahaman para sahabat maka dia berada dalam kesesatan dimana kegelapan demi kegelapan semakin melilitnya sehingga kalau dia mengulurkan tangannya hampir tidak akan terlihat. Dengan pemahaman sahabat, kita membentengi Al Quran dan As Sunnah dari berbagai bidah setan dari jenis manusia ataupun jin. Mereka hanya menginginkan timbulnya fitnah dan menghendaki takwilnya untuk merusak apa yang dimaksudkan Allah dan Rasul-Nya. Maka pemahaman sahabat radhiallahu anhum adalah benteng dari segala keburukan dan benteng dari sebab-sebab yang menimbulkannya. Kalau pemahaman para sahabat tidak bisa dijadikan hujjah maka mustahil pemahaman generasi setelah para sahabat menjaga pemahaman para sahabat dan menjadi benteng baginya. Apabila pengkhususan dan pembatasan ini ditolak yaitu wajibnya memahami Al Quran dan as Sunnah yang shahih dengan pemahamannya maka akan semakin jauhlah seorang muslim dari "kebenaran yang mutlak," dan (yang lebih buruk lagi) berbagai firqah dan partai akan menjadi terhalang untuk kembali ke jalan yang benar.

Sesungguhnya Al Quran dan As Sunnah adalah merupakan penangkal berbagai pemahaman yang menyimpang seperti : Mutazilah, Murjiah, Jahmiyyah, Syiah, Tasawwuf/Sufi, Khawarij, Bathiniyyah, dan selain mereka, maka tidak boleh tidak harus ada pemisahan.
Wallahu alam

Sumber : www.darussalaf.or.id

Mengenal Ketinggian Allah Subhanahu wa Taala

Penulis : Dr. Muhammad Al-Khumais

MENGENAL KETINGGIAN ALLAH

Allah yang menciptakan kita mewajibkan kita untuk mengetahui di mana Dia, sehingga kita dapat menghadap kepada-Nya dengan hati, doa dan shalat kita. Orang yang tidak tahu di mana Tuhannya akan selalu sesat dan tidak akan mengetahui bagaimana cara beribadah yang benar.

Sifat atas atau tinggi yang dimiliki Allah atas makhluk-Nya tidak berbeda dengan sifat-sifat Allah yang lainnya sebagaimana yang diterangkan dalam Al-Qur`an dan hadits yang shahih, seperti "Mendengar", "Melihat", "Berbicara", "Turun" dan lain-lain.

Aqidah para ulama salaf yang shalih dan golongan yang selamat yaitu Ahlus Sunnah wal Jamaah mempunyai keyakinan yang sesuai dengan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya tanpa ta`wiil (menggeser makna yang asal ke makna yang lain), tathiil (meniadakan seluruh atau sebagian sifat-sifat Allah), takyiif (menanyakan hakekat sifat-sifat Allah) dan tasybiih (menyamakan Allah dengan makhluk-Nya). Hal ini berdasarkan firman Allah: "Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat." (Asy-Syuuraa:11)

Sifat-sifat Allah ini antara lain sifat atas atau tinggi tadi mengikuti Dzat Allah. Oleh karena itu iman kepada sifat-sifat Allah tersebut juga wajib sebagaimana juga iman kepada Dzat Allah.

Al-Imam Malik ketika ditanya tentang makna istiwa` dalam firman Allah: "Ar-Rahman (Yang Maha Pengasih) bersemayam di atas Arsy." (Thaahaa:5)
Beliau menjawab: "Istiwa` itu sudah diketahui maknanya, yaitu "tinggi". Sedangkan bagaimananya, tidak diketahui. Beriman dengannya adalah wajib dan menanyakannya adalah bidah."

Perhatikanlah jawaban Al-Imam Malik tersebut yang menetapkan bahwa iman kepada istiwa` itu wajib diketahui oleh setiap muslim. Tetapi bagaimana tingginya Allah itu hanya Allah saja yang mengetahui. Orang yang mengingkari sifat Allah yang telah ditetapkan dalam Al-Qur`an dan Hadits -antara lain sifat ketinggian Allah yang mutlak dan Allah di atas langit- maka orang itu berarti telah mengingkari ayat Al-Qur`an dan Hadits yang menetapkan adanya sifat-sifat tersebut. Sifat-sifat tersebut meliputi sifat-sifat kesempurnaan, keluhuran dan keagungan yang tidak boleh diingkari oleh siapa pun.

Ada sekelompok ulama yang datang belakangan yang sudah terpengaruh oleh filsafat yang merusak aqidah Islam, berusaha untuk mena`wilkan ayat-ayat Al-Qur`an yang berhubungan dengan sifat Allah, sehingga mereka menghilangkan sifat-sifat Allah yang sempurna dari Dzat-Nya. Mereka bertentangan dengan metode ulama salaf yang lebih selamat, lebih tahu dan lebih kuat argumentasinya. Alangkah indahnya pendapat yang mengatakan:
segala kebaikan itu terdapat dalam mengikuti jejak ulama salaf
dan segala keburukan itu terdapat dalam bidahnya orang-orang khalaf (yang menyelisihi salaf).

KESIMPULAN MENGENAI SIFAT-SIFAT ALLAH

Beriman kepada seluruh sifat-sifat Allah yang diterangkan dalam Al-Qur`an dan Hadits adalah wajib. Tidak boleh membeda-bedakan antara sifat yang satu dengan sifat yang lain, sehingga kita hanya mau beriman kepada sifat yang satu dan ingkar kepada sifat yang lain. Orang yang percaya bahwa Allah itu Maha Mendengar dan Maha Melihat, dan percaya bahwa mendengar dan melihatnya Allah tidak sama dengan mendengar dan melihatnya makhluk, maka ia juga harus percaya bahwa Allah itu tinggi di atas langit dengan cara dan sifat yang sesuai dengan keagungan Allah dan tidak sama dengan tingginya makhluk, karena sifat tingginya itu adalah sifat yang sempurna bagi Allah. Hal itu sudah ditetapkan sendiri oleh Allah dalam Kitab-Nya dan sabda-sabda Rasulullah. Fithrah dan cara berfikir yang sehat juga mendukung kenyataan tersebut.

ALLAH BERADA DI ATAS ARSY

Al-Qur`an, hadits shahih dan fithrah yang bersih serta cara berfikir yang sehat adalah dalil-dalil yang qathi yang mendukung kenyataan bahwa Allah berada di atas Arsy.

Dalil-dalil tersebut adalah:
1. Firman Allah Taala:

الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى

"Allah Yang Maha Pengasih itu beristiwa` di atas Arsy." (Thaahaa:5) Keterangan bahwa Allah bersemayam di atas Arsy terdapat dalam tujuh surat, yaitu: Al-Araaf:54, Yuunus:3, Ar-Rad:2, Thaahaa:5, Al-Furqaan:59, As-Sajdah:4 dan Al-Hadiid:4.
Para tabiin menafsirkan istiwa` dengan naik dan tinggi, sebagaimana diterangkan dalam hadits Al-Bukhariy, yang merupakan bantahan terhadap orang yang mena`wilkan istiwa` dengan istaula (menguasai). (Lihat Syarh Al-Aqiidah Al-Waasithiyyah, Asy-Syaikh Al-Fauzan hal.73-75 cet. Maktabah Al-Maaarif)

2. "Apakah kalian merasa aman terhadap "Yang di langit" bahwa Dia akan menjungkirbalikkan bumi bersama kalian?" (Al-Mulk:16)
Menurut Ibnu Abbas yang dimaksud dengan "Yang di langit" adalah Allah seperti disebutkan dalam kitab Tafsir Ibnul Jauziy.

3. "Mereka takut kepada Tuhan mereka yang (ada) di atas mereka." (An-Nahl:50)

4. Firman Allah tentang Nabi Isa: "Tetapi (yang sebenarnya), Allah mengangkatnya kepada-Nya." (An-Nisaa:158)
Maksudnya Allah menaikkan Nabi Isa ke langit.

5. "Dan Dialah Allah (Yang disembah), baik di langit maupun di bumi." (Al-Anaam:3)
Ibnu Katsir mengomentari ayat ini sebagai berikut: "Para ahli tafsir sepakat bahwa kita tidak akan mengucapkan seperti ucapannya Jahmiyyah (golongan yang sesat) yang mengatakan bahwa Allah itu berada di setiap tempat. Maha Suci Allah dari ucapan mereka terebut."
Adapun firman Allah: "Dan Dia bersama kalian di mana saja kalian berada." (Al-Hadiid:4), maka yang dimaksud adalah Allah itu selalu bersama kita, dalam artian mendengar dan melihat kita, seperti diterangkan dalam tafsir Ibnu Katsir dan Jalalain.

6. Rasulullah miraj ke langit ketujuh dan berdialog dengan Allah serta diwajibkan untuk melakukan shalat lima waktu. (Muttafaqun alaih)

7. Rasulullah bersabda: "Kenapa kamu tidak mempercayaiku, padahal aku ini dipercaya oleh Allah yang ada di langit?" (Muttafaqun alaih)

8. Rasulullah bersabda: "Sayangilah orang-orang yang ada di bumi maka Yang di langit (yaitu Allah) akan menyayangi kalian." (HR. At-Tirmidziy)

9. Abu Bakr Ash-Shiddiq berkata: "Barangsiapa menyembah Allah maka Allah berada di atas langit, Ia hidup dan tidak mati." (Riwayat Ad-Darimiy dalam Ar-Radd alal Jahmiyyah)

10. Abdullah Ibnul Mubarak pernah ditanya: "Bagaimana kita mengetahui Tuhan kita?" Maka beliau menjawab: "Tuhan kita di atas langit, di atas Arsy, berbeda dengan makhluk-Nya." Maksudnya Dzat Allah berada di atas Arsy, berbeda dan berpisah dengan makhluk-Nya dan keadaannya di atas Arsy tersebut tidak sama dengan makhluk.

11. Al-Imam Abu Hanifah menulis kitab kecil berjudul "Sesungguhnya Allah itu di atas Arsy." Beliau menerangkan hal itu seperti dalam kitabnya "Al-Ilm wal Mutaallim."

12. Seseorang yang tengah shalat berucap di dalam sujudnya: "Subhaana Rabbiyal Alaa" (Maha Suci Tuhanku Yang Maha Tinggi).

13. Seseorang ketika berdoa juga mengangkat kedua tangannya dan menadahkannya ke langit.

14. Anak kecil ketika ditanya: "Di mana Allah?", niscaya mereka akan segera menjawab berdasarkan fithrah mereka yang masih bersih bahwa Allah berada di atas langit.

15. Hewan buruan seperti kijang dan lainnya ketika hendak dibidik/dibunuh oleh sang pemburu, menengadahkan kepalanya ke langit meminta kepada Rabb-nya yang ada di atas langit agar menyelamatkannya. Hal ini menunjukkan bahwa hewan tersebut tahu bahwa Rabb-nya di atas langit. Demikian juga hewan-hewan yang lainnya mengetahui bahwa Rabb mereka berada di atas langit. Kalau ada orang yang masih belum mengetahui di mana Rabb-nya maka dia lebih hina dan lebih rendah daripada hewan.

16. Akal yang sehat juga mendukung kenyataan bahwa Allah berada di atas langit. Seandainya Allah berada di setiap tempat, niscaya Rasulullah pernah menerangkan dan mengajarkan kepada para shahabatnya. Kalau Allah berada di segala tempat berarti Allah juga di tempat-tempat yang najis dan kotor. Maha Suci Allah dari anggapan itu.

KISAH SEORANG WANITA PENGGEMBALA

Di antara dalil yang menunjukkan bahwa Allah di atas langit adalah kisah seorang budak wanita penggembala. Kisahnya adalah sebagai berikut:
Dari Muawiyyah bin Al-Hakam As-Sulamiy berkata: "Dulu aku mempunyai seorang budak wanita yang menggembalakan kambing-kambingku di daerah Uhud dan Jawwaaniyyah.

Suatu hari aku menengoknya, tiba-tiba ada seekor serigala membawa pergi salah satu kambingnya. Sedangkan aku adalah seorang laki-laki dari Bani Adam. Aku bisa marah sebagaimana orang lain pun bisa marah. Maka aku pun memukulnya sekali.
Kemudian aku mendatangi Rasulullah, maka beliau menganggap besar perbuatan yang telah kulakukan.
Aku berkata: "Wahai Rasulullah, apakah aku merdekakan saja dia?" Beliau menjawab: "Bawa dia kepadaku!"
Maka setelah budak wanita tersebut dibawa ke hadapan beliau, beliau bertanya kepadanya: "Di mana Allah?" Dia menjawab: "Di atas langit." Beliau bertanya lagi: "Siapa aku?" Budak itu pun menjawab: "Engkau adalah Utusan Allah."
Setelah mendengar jawaban tersebut, beliau bersabda: "Merdekakan dia, karena dia adalah seorang wanita yang beriman." (HR. Muslim no.537)

Dari hadits dan kisah tersebut, kita bisa mengambil beberapa faidah, di antaranya:
1. Adalah kebiasaan para shahabat ketika menghadapi suatu permasalahan meskipun kecil, selalu merujuk kepada Rasulullah agar mereka mengetahui bagaimana hukum Allah di dalam permasalahan tersebut.
2. Wajibnya berhukum kepada Allah dan Rasul-Nya dalam rangka mengamalkan firman Allah Taala: "Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman sampai mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan dan mereka menerima dengan sepenuhnya." (An-Nisaa`:65)
3. Pengingkaran Rasulullah terhadap shahabat tersebut yang memukul budaknya dan beliau menganggapnya sebagai perkara besar.
4. Memerdekakan budak hanya boleh dilakukan terhadap budak yang beriman, bukan budak yang kafir. Karena Rasulullah menguji budak tadi dan ketika beliau mengetahui bahwa budak itu beriman, beliau memerintahkan untuk memerdekakannya. Jadi seandainya dia kafir, beliau tidak akan memerintahkan hal tersebut.
5. Kewajiban bertanya tentang tauhid, di antaranya tentang tingginya Allah di atas Arsy-Nya. Mengetahui hal ini adalah wajib.
6. Disyariatkannya memberikan pertanyaan: "Di mana Allah?". Hal ini adalah sunnah karena Rasulullah juga menanyakannya. Hal ini juga sebagai bantahan terhadap orang yang mengatakan: "Tidak boleh bertanya di mana Allah!"
7. Disyariatkannya (bahkan wajib untuk) menjawab bahwa Allah ada di langit (yaitu di atas langit). Karena Nabi membenarkan jawaban budak tadi dan juga karena sesuainya jawaban tersebut dengan Al-Qur`an yang mengatakan: "Apakah kalian merasa aman terhadap "Yang di langit" bahwa Dia akan menjungkirbalikkan bumi bersama kalian?" (Al-Mulk:16)
Yang dimaksud dengan "Yang di langit" adalah Allah, sebagaimana yang ditafsirkan oleh Ibnu Abbas. Sedangkan makna fis samaa` (di langit) adalah alas samaa` (di atas langit).
8. Benarnya keimanan dapat terwujud dengan adanya persaksian terhadap Muhammad dengan risalah beliau.
9. Keyakinan bahwa Allah ada di atas langit adalah bukti yang menunjukkan benarnya keimanan dan keyakinan ini harus ada pada setiap orang yang beriman.
10. Hadits ini merupakan bantahan terhadap kesalahan orang yang mengatakan bahwa Allah ada di setiap tempat dengan Dzat-Nya, sedangkan yang benar adalah Allah bersama kita dengan ilmu-Nya, bukan dengan Dzat-Nya.
11. Permintaan Rasulullah agar budak itu dibawa ke hadapan beliau sehingga beliau dapat mengujinya menunjukkan bahwa beliau tidak mengetahui perkara ghaib, yaitu keimanan budak tersebut. Hal ini sebagai bantahan terhadap golongan shufi yang mengatakan bahwa Rasulullah mengetahui perkara ghaib. Wallaahu Alam.

Diringkas dari kitab Taujiihaat Islaamiyyah li Ishlaahil Fard wal Mujtama dan Kaifa Nurabbii Aulaadanaa karya Asy-Syaikh Muhammad Jamil Zainu dengan beberapa tambahan.

PERNYATAAN PARA IMAM TENTANG ISTIWA`

Berkata Al-Imam Abu Hanifah: "Siapa yang berkata: "Saya tidak tahu Tuhanku itu di mana, di langit ataukah di bumi.", maka orang tersebut kafir. Demikian pula orang yang berkata: "Tuhanku itu di atas Arsy, tetapi saya tidak tahu Arsy itu di langit ataukah di bumi." (Al-Fiqhul Absath hal.46; Lihat juga Majmuuul Fataawaa 5/48; Syarh Al-Aqiidah Ath-Thahaawiyyah, Ibnu Abil Izz hal.301;)

Abu Nuaim menuturkan dari Jafar bin Abdillah, dia berkata: "Kami berada di rumah Malik bin Anas, kemudian ada orang datang dan bertanya, "Wahai Abu Abdillah, Allah Yang Maha Pengasih istiwa` (bersemayam) di atas Arsy, bagaimana caranya Allah beristiwa`?"
Mendengar pertanyaan itu, Al-Imam Malik marah. Beliau tidak pernah marah seperti itu. Kemudian beliau melihat ke tanah sambil memegang kayu di tangannya, lalu beliau mengangkat kepalanya dan melempar kayu tersebut, kemudian berkata: "Istiwa` itu sudah diketahui maknanya sedangkan bagaimana caranya Allah beristiwa` tidaklah dapat dicerna oleh akal. Beriman dengannya adalah wajib sedangkan menanyakannya adalah bidah. Dan saya kira kamulah pelaku bidah tersebut." Kemudian Al-Imam Malik menyuruh orang itu agar dikeluarkan dari rumah beliau." (Al-Hilyah 6/325-326; Aqiidatus Salaf Ash-Haabul Hadiits hal.17-18; At-Tamhiid 7/151; Fathul Baarii 13/406-407)

Wallaahu Alam.
Dinukil dari kitab Itiqaadul A`immah Al-Arbaah, Dr. Muhammad Al-Khumais
(Dikutip dari Bulletin Al Wala wal Bara Edisi ke-35 Tahun ke-2 / 23 Juli 2004 M / 05 Jumadits Tsani 1425 H. URL http://salafy.iwebland.com/fdawj/awwb/read.php?edisi=35&th=2)

Rabu, 18 Juni 2014

Kajian Umum Massepe Rabiul Tsani 1431 H

Bismillahirrahmanirrahiim

Dengan mengharapkan keridhaan Allah Subhanahu wa Ta’ala, Hadirilah!
KAJIAN UMUM TENTANG MANHAJ

Bersama :
Al-Ustadz Abu Muawiyah Hammad hafidzhahullah
(Penulis Buku Studi Kritis Perayaan Maulid Nabi)

Insya Allah akan dilaksanakan pada :
Jum’at, 18 Rabi’ul Tsani 1431 H. / 2 April 2010 M.
Jam : 13.30 WITA (Ba’da Jum’at) sampai selesai

Tempat :
Masjid As-Sunnah, Desa Teppo, Massepe, Kec. Tellu Limpoe.

Sebelumnya Beliau juga Insya Allah akan mengisi KHUTBAH JUMAT di Masjid Ar-Rahmah, Amparita.


Pelaksana :
Majelis Ta’lim As-Sunnah, Massepe.

Informasi Silakan Hubungi :
Abu Mujahid, 081 342 289 079

Jalan Golongan Yang Selamat 28

KUFUR KECIL DAN MACAMNYA
Penulis : Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu

Kufur kecil ialah kufur yang tidak menyebabkan orang yang bersangkutan keluar dari Islam. Di antara contohnya yaitu:

1. Kufur nikmat:

Hal ini berdasarkan firman Allah ketika menyeru orang-orang mukmin dari kaum Nabi Musa Alaihissalam:

وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ
"Dan (ingatlah), tatkala Tuhanmu memaklumkan, Sesungguh-nya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmatKu) maka sesung-guhnya adzabKu sangat pedih." (Ibrahim: 7)

2. Kufur amal:

Yaitu setiap perbuatan maksiat yang oleh syara dikategorikan perbuatan kufur, tetapi orang yang bersangkutan masih tetap berpredikat sebagai seorang mukmin. Seperti sabda Rasulullah ,

سباب المسلم فسوق، وقتاله كفر
"Mencaci-maki orang Islam adalah (perbuatan) fasik sedang memeranginya adalah (perbuatan) Kufur." (HR. Al-Bukhari)

لايزني الزني حين يزني وهو مؤمن، ولا يشرب الخمر حين يشربها وهو مؤمن
"Tidaklah berzina seorang pezina, sedang ia dalam keadaan beriman. Dan tidaklah minum khamar, sedang ia dalam keadaan beriman." (HR. Muslim)

Perbuatan kufur semacam ini tidak menjadikan orang yang melakukannya keluar dari agama Islam (murtad), tetapi ia termasuk dosa besar.

3. Orang yang memutuskan hukum dengan selain yang diturunkan oleh Allah, sedangkan ia mengakui adanya hukum Allah.

Ibnu Abbas berkata, "Barangsiapa melakukan hal tersebut maka dia adalah orang zhalim dan fasik." Pendapat ini pula yang dipilih Ibnu Jarir. Sedangkan Atha berkata, "Ia adalah kufur di bawah kufur (tidak menyebabkannya keluar dari Islam)".

Selasa, 17 Juni 2014

Kajian Rutin Ahlussunnah di Kab Luwu Timur Sul sel Revisi 23 02 2010

Bismillahirrahmanirrahiim

Kajian Rutin Salafy di Kab. Luwu Timur, Sulawesi Selatan. Insya Allah akan dilaksanakan tiap pekan dengan Pemateri dan Jadwal sebagai berikut :

Pemateri : Al-Ustadz Abu ‘Athiah Rismal Hafidzahullah
(Alumni Ma`had As-Sunnah Makassar)

1. SENIN s.d RABU
Materi : Kitab Shahih Bukhary
Waktu : 18.35 – 19.20 WITA (Maghrib – Isya’)
Tempat : Masjid Al-Furqon, Wawondula.

2. JUM’AT
Materi : Kitab Riyadhus Shalihin
Waktu : 18.35 – 19.20 WITA (Maghrib – Isya’)
Tempat : Masjid Al-Kautsar, Wawondula.

3. SABTU
Materi : Kitab Shahih Bukhary dan Kitab Aqidah
Waktu : Jam 10.00 WITA - Dzhuhur
Tempat : Masjid Al-Ikhwan, Sorowako.

4. AHAD
Materi : Kitab Aqidah dan Fiqih
Waktu : Jam 10.00 WITA - Dzhuhur
Tempat :
- Ahad ke-1 dan ke-2 di Masjid Al-Ikhwan, Sorowako.
- Ahad ke-3 di Masjid Al-Furqon, Wawondula.
- Ahad ke-4 di Wasuponda.

5. DAURAH BULANAN
Insya’ Allah setiap bulan akan diadakan DAURAH BULANAN yang dibawakan oleh Asatidz Ahlussunnah dari Ma’had As-Sunnah Makassar, Ma’had Tanwirus Sunnah Gowa, Ma’had Riyadhus Shalihin Pangkep, dan Asatidz dari Mangkutana.

6. DAURAH TAHUNAN
Insya’ Allah setiap tahun akan diadakan DAURAH TAHUNAN yang akan dibawakan oleh Asatidz Ahlussunnah dari berbagai daerah, baik dari dalam maupun dari luar Sul-Sel.

Kontak Person :
0852-5598-6800 atau 0812-4268-3280

Ralat : Mohon maaf pada publikasi sebelumnya tertulis Kitab Fathul Baari yang benar adalah Shahih Bukhary sebagaimana tercantum dalam publikasi revisi ini. jazakallahu khairan katsira.

Doa Agar Terhindar Dari Sihir Santet Kiriman Orang Lain

Doa Mustajab – Kadang karena sesuatu masalah, orang menyimpan dendam yang sangat dalam pada orang lain. Karena tidak mungkin melakukan balas dendam sendiri, akhirnya dia meminta bantuan dukun santet untuk mencelakai musuhnya. Inilah yang kadang masih sering terjadi.

Doa Agar Terhindar Dari Sihir-Santet Kiriman Orang Lain

Doa ini bagus  diamalkan setiap selesai sholat. Bacalah paling tidak sekali atau lebih. Dengan doa ini, Insya Allah dapat menghalangi  sihir yang dikirim orang lain kepada anda dengan menyakiti anda karena cemburu, iri,  dengki.

Inilah doa yang diambil dari al-Qur’an:
  
Doa Agar Terhindar Dari Sihir-Santet Kiriman Orang Lain

Terjemahannya.


"Sesungguhnya aku telah berserah diri kepada Allah, Tuhanku dan Tuhan kamu! Tiadalah sesuatupun dari makhluk-makhluk yang bergerak di muka bumi melainkan Allah jualah yang menguasainya. Sesungguhnya Tuhanku tetap di atas jalan yang lurus. (Surah Hud Ayat 56).

Disamping itu baik juga jika amalan kita tambah dengan akhir surat Hud ini. Tujuannya adalah agar kita terhindar dari gangguan jin, syetan dan juga manusia.


Artinya:

"Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengawal dan Pemelihara atas tiap-tiap sesuatu."

Semoga doa agar terhindar dari sihir atau santet ini bisa bermanfaat dan membuat kita dihindarkan oleh Allah dari kejahatan manusia, jin dan syetan. Amin

Safari Dakwah Bersama Masyayikh Yaman Saudi 13 21 02 2010

Penulis: Redaksi Salafy.or.id

Hadirilah dengan mengharap ridlo Allah Taala

Safari Dakwah Masyayikh Ahlus Sunnah

Pembicara :
Asy Syaikh Abdullah Al Mari (Yaman)
dan
Asy Syaikh Muhammad Ghalib (Saudi Arabia)

Insya Allah akan berlangsung pada tanggal 28 Safar - 7 Rabiul Awal 1431 H atau bertepatan dengan tanggal 13 - 21 Februari 2010

Jadual Muhadharah Umum

1. Waktu : Sabtu / 13 Februari 2010
Tempat : Masjid Agung Ngawi, Jatim
Kontak Person : 0899 3591 222, 0813 5950 6000

2. Waktu : Ahad / 14 Februari 2010
Tempat : Masjid Raya Ukhuwah, Jl Kalimantan, Denpasar, Bali
Kontak Person : 0852 3746 3117

3. Waktu : Selasa / 16 Februari 2010
Tempat : Masjid Zaadul Maad, PP Ibnul Qoyyim, Balikpapan
Kontak Person : 0542 86171, 0813 5017 8107

4. Waktu : Rabu / 17 Februari 2010
Tempat : Makassar (belum dapat kepastian)
Kontak Person : 0815 2464 5041

5. Waktu : Kamis / 18 Februari 2010
Tempat : Masjid Abu Bakar Shiddiq, Komplek Muhajirin, Kebun Cengkih, Ambon
Kontak Person : 0813 4344 5858, 0815 2726 8065

6. Waktu : Sabtu / 20 Februari 2010
Tempat : Masjid Al Itisham, Jl. Jendral Sudirman, Jakarta
Kontak Person : 021 9828 12630, 0816 1996 634, 0811 916 896

7. Waktu : Ahad / 21 Februari 2010
Tempat : Medan (belum dapat kepastian)
Kontak Person : 0813 9695 8484

Selengkapnya klik pamflet ini :http://www.salafy.or.id/upload/daurahsyaikhfeb.jpg



Insya Allah daurah ini disiarkan secara online lewat Paltalk, Room Religion & Spirituality - Islam - Salafiyyin, nickname salafiyyin

(Petunjuk http://www.salafy.or.id/upload/paltalk.zip )

Demikian informasi ini semoga bermanfaat

Redaksi Salafy.or.id

Senin, 16 Juni 2014

MENDULANG PAHALA DI BULAN DZULHIJJAH

Penulis: Al Ustadz Muhammad Irfan

Wahai kaum mu’minin, saat ini kita berada pada hari-hari yang terbaik di sisi Allah Ta’ala, yaitu sepuluh hari di bulan Dzulhijjah, yang mana Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda : ”Tidak ada dari hari-hari yang amalan shalih padanya lebih di cintai Allah Azza wa Jalla dari hari-hari yaitu sepuluh hari (pertama) di bulan Dzulhijjah. Dan mereka berkata : “Ya Rasulullah, tidak pula jihad di jalan Allah ?” Beliau berkata : “Tidak pula jihad dijalan Allah, kecuali seseorang yang keluar (berjihad) dengan jiwa dan hartanya yang kemudian tidak kembali dari hal itu sedikitpun.” (HR. Bukhari). Dan dalam riwayat Imam At-Thabrani dengan sanad yang jayyid (bagus) ada tambahan : “Maka perbanyaklah padanya tasbih, tahmid, tahlil, dan takbir.”

Dalam hadits di atas menunjukkan bahwa amalan shalih yang di kerjakan pada sepuluh hari pertama di bulan Dzulhijjah lebih di cintai Allah dari hari-hari lainnya, dan kita di anjurkan untuk banyak-banyak melaksanakan amalan shaleh.

Dan Allah Azza wa Jalla bersumpah dengan sepuluh hari bulan Dzulhijjah dalam Al-Qur’an, Allah berfirman : “Demi waktu fajar dan demi malam yang kesepuluh.” (QS. Al-Fajr : 1-2). Ibnu Abbas, Ibnu Zubair, Ikrimah dan Mujahid serta yang lainnya menafsirkan malam yang kesepuluh dengan sepuluh hari bulan Dzulhijjah. (lihat Tafsir Ibnu Katsir).

Allah juga berfirman dalam ayat lainnya : “Supaya mereka menyaksikan berbagai manfa’at bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah di tentukan atas rezki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebagian daripadanya dan (sebagian lagi) berikanlah untuk dimakan bagi orang-orang yang sengsara lagi fakir.” (QS. Al-Hajj : 28) Mujahid meriwayatkan dari Ibnu Umar, dan said bin Jubair meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa yang di maksud dengan “Hari yang telah di tentukan” adalah sepuluh hari (pertama) bulan Dzulhajjih. (lihat Tafsir Ibnu Katsir).

Wahai kaum muslimin, setelah kita mengetahui tentang keutamaan sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah serta keutamaan padanya, maka sepantasnyalah kita berusaha mendapatkan kesempatan emas tersebut dengan menjalankan berbagai macam amalan shalih yang di sunnahkan untuk di kerjakan padanya dengan mengharap ridho Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Diantara amalan besar yang di sunnahkan untuk kita kerjakan padanya adalah haji, khususnya bagi kita yang belum pernah melaksanakannya. Maka hukumnya wajib jika mempunyai kemampuan, dan itu adalah amalan ibadah yang paling utama, sebagaimana dinyatakan oleh Rasulllah shallallahu alahi wa sallam tatkala beliau ditanya tentang amalan yang paling utama, beliau menyatakan : “Beriman kepada Allah dan rasul-Nya.” Lalu ditanya lagi : “Kemudian apalagi ?” Beliau menjawab : “Jihad di jalan Allah.” Lalu ditanya lagi : “Lalu apalagi ? Kata beliau : “Haji mabrur.” (HR. Bukhari-Muslim).

Dan Rasulullah shallallau alaihi wa sallam juga menyatakan tentang keutamaan berhaji dalam sabda beliau : “Barang siapa yang berhaji karena Allah lalu tidak berkata jelek dan tidak berbuat kefasikan, maka dia kembali seperti hari saat dia di lahirkan ibunya.” (HR. Bukhari-Muslim).
Rasulullah juga bersabda : “Haji yang mabrur tidak ada balasan baginya kecuali surga.” (HR. Bukhari-Muslim).

Dan termasuk amalan shalih yang di sunnahkan untuk kita kerjakan adalah puasa pada tanggal sembilan Dzulhijjah, yaitu puasa Arofah. Disebutkan dalam hadits dari Hafshoh radhiyallahu anha, beliau menyatakan bahwa Rasululllah shallallahu alaihi wa sallam ( biasa ) berpuasa pada sembilan Dzulhijjah, hari Asyura (sepuluh muharram-pent) dan tiga hari setiap bulannya,”
(HR. Ahmad, Nasa’i, dan Abu Dawud).
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam juga di tanya tentang puasa Arofah, beliau menyatakan : “Menghapuskan (dosa) setahun yang lalu dan yang akan datang “(HR. Muslim).

Dan termasuk amalan shalih yang di syariatkan untuk di kerjakan pada hari-hari tersebut adalah menyembelih kurban. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda : “Barang siapa yang memiliki kelapangan (harta) dan dia tidak berkurban janganlah dia mendekati mushalla kami.” (HR. Ahmad).

Sebagian ulama diantaranya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berdalil dengan hadits ini atas wajibnya berkurban bagi mereka yang mampu. Imam Asy-Syaukani menyatakan : Tatkala (Rasulullah) melarang bagi seseorang yang punya kelapangan (harta) untuk mendekati mushalla jika dia tidak berkurban. Ini menunjukkan bahwa dia telah meninggalkan kewajiban, maka seakan-akan tidak ada manfaat di dalam taqarrub (mendekatkan diri pada Allah) bersamaan dengan meninggalkan kewajiban.

Dan bagi mereka yang berkurban maka janganlah memotong rambut dan kukunya sampai selesai berkurban. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menyatakan : “Barang siapa yang mempunyai sembelihan yang akan di sembelih, maka janganlah dia memotong rambut dan kukunya sedikitpun, sampai dia menyembelih.” (HR. Muslim).

Dan termasuk amalan yang disunnahkan pada hari-hari itu adalah banyak-banyak berdzikir, diantaranya bertasbih, bertahlil, bertakbir dan bertahmid. Sebagaimana yang dinyatakan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam : “Perbanyaklah padanya tasbih, tahmid, tahlil, dan takbir.” (HR. Thabrani dengan sanad yang jayyid).
Imam Bukhari menyatakan dalam shahihnya bahwasanya Ibnu Umar dan Abu Hurairah keduanya keluar ke pasar pada hari-hari sepuluh (dzulhijjah) lalu mereka berdua bertakbir, dan bertakbirlah manusia dengan takbir keduanya.

Rasulullah shalllallahu alaihi wa sallam menjelaskan bahwa bertasbih, bertahlil, bertakbir dan bertahmid adalah ucapan yang di cintai Allah Subhanahu wa ta’ala. Beliau shallallahu alahi wa sallam bersabda : “Ucapan yang paling di cintai Allah ada empat : Shubhanallah walhamdulillah wa laa ilaaha illallah wallahu akbar. Tidak masalah kamu mulai dengan yang manapun.” (HR. Muslim).

Dan termasuk pula darinya adalah bertaubat dan beristighfar dari segala dosa kita yang besar maupun yang kecil, yang tampak ataupun yang tidak tampak. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menyatakan tentang orang-orang yang banyak beristighfar dalam sabdanya : “Berbahagialah bagi mereka yang mendapati dalam catatan amalnya istighfar yang banyak.” (Shahih At-Targhib wa At-Tarhib, No 1617).

Dan termasuk pula darinya adalah banyak-banyak melaksanakan shalat sunnah. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda : “Wajib atas kalian untuk memperbanyak sujud kepada Allah. Tidaklah kamu sujud kepada Allah dengan sekali sujud kecuali Allah mengangkat derajatmu satu derajat dan akan menghapus darimu satu kesalahan.” (HR. Muslim).

Dan termasuk pula amalan yang semestinya kita perbanyak di sepuluh hari pertama Dzulhijjah adalah bershadaqah dan menolong orang-orang yang kesusahan. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda tentang keutamaan shadaqah : “Sesungguhnya shadaqah itu akan memadamkan panasnya kubur bagi pelakunya, dan bahwasanya seorang mu’min itu akan bernaung di hari kiamat pada naungan shadaqahnya.” (Lihat Shahih At-Targhib wa At-Tarhib,No. 873).

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah di tanya oleh seseorang : “Ya Rasulullah manusia yang bagaimana yang paling di cintai oleh Allah ? “Lalu beliau menjawab : “Manusia yang paling di cintai oleh Allah adalah yang paling bermanfaat bagi manusia, dan amalan yang paling di cintai Allah Azza Wa Jalla adalah kebahagian yang kamu masukkan pada seorang muslim, kamu hilangkan darinya kesusahannya, atau kamu bayarkan utangnya, atau kamu tangkal kelaparan darinya. Dan aku berjalan bersama seseorang dalam suatu kebutuhan itu lebih aku senangi daripada aku beri’tikaf di masjid ini yaitu madjid madinah, selama satu bulan.

Dan barang siapa yang menahan kemarahannya, yang seandainya dia lampiaskan pasti dia (mampu) melampiaskannya. Maka Allah akan memenuhi hatinya pada hari kiamat dengan kerhidoan. Dan barang siapa yang berjalan bersama saudaranya dalam satu kebutuhan sampai dia menyelesaikan baginya (hajat kebutuhan saudara tersebut, ed), maka Allah akan menetapkan (mengokohkan) kakinya pada hari kaki-kaki tergelincir ( di hari kiamat nanti,ed.)”
(Lihat Shahahih At-Targhib, No. 2623).

Itulah beberapa amalan shalih dan masih banyak lagi amalan-amalan yang lainnya yang hendaknya kita berusaha keras untuk melaksanakannya pada sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah ini, dengan harapan kita akan mendapatkan rahmat serta ridho-Nya, Amin Ya Rabbal ‘Aalamiin.

Maraji’ :
1. Shahih At-Targhib wa At-Tarhib, karya Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani.
2. Tafsir Al-Qur’an Al Adzim, karya Al-Imam Ibnu Katsir.

Sumber : Buletin Dakwah AT-TASHFIYYAH,Surabaya. Edisi : 06 / Dzulhijjah / 142
http://www.darussalaf.or.id

Daurah Sidrap Safar 1431 H

JADWAL DAURAH BULANAN DI KAB. SIDRAP, SUL-SEL.

Bismillahirrahmanirrahiim

Berikut Jadwal Kegiatan DAURAH SALAFIYAH Yang Insya Allah akan dilaksanakan setiap bulan di Kab. Sidrap pada pekan ke-4 (Sabtu – Ahad) yang akan dibawakan oleh :

AL-USTADZ ABU ‘ABDILLAH KHIDIR BIN MUHAMMAD SANUSI hafidzahullah
(Murid Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullah / Pengasuh Pondok Pesantren As-Sunnah, Makkassar)

Jadwal Untuk Bulan ini : Safar 1431 H. / Januari 2010 M.

Hari 1 : Sabtu, 8 Safar 1431 H. / 23 Januari 2010 M.

KAJIAN KITAB AL-USHUL TSALATSAH
(Tiga Landasan Utama)
Karya : Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah
Pukul : 18.40 – 19.20 WITA (Maghrib – Isya’)

Tempat : MASJID AS-SUNNAH, Desa Teppo, Massepe, Kec. Tellu LimpoE, Kab. Sidrap (Terbuka untuk Umum : Ikhwan dan Akhwat)

Hari 2 : Ahad, 9 Safar 1431 H. / 24 Januari 2010 M.

1. KAJIAN KITAB SYARH MASA’ILUL JAHILIYAH
(Penjelasan tentang perkara-perkara jahiliyah)
Karya : Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah
Syarah : Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafidzhahullah
Pukul : 09.30 – 11.00 WITA

2. KAJIAN KITAB SHAHIH SIRAH NABAWIYAH
(Sejarah Perjalanan Hidup Rasulullah Shallalahu alaihi wasallam)
Karya : Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah
Tahqiq : Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albany rahimahullah
Pukul : 11.00 – Dzhuhur

3. TAUSIYAH / CERAMAH UMUM / TANYA JAWAB
Pukul : 12.35 – 13.00 WITA

Tempat : MASJID AS-SUNNAH, Dusun II Labempa, Desa KaniE, Kec. MaritengngaE Kab. Sidrap (Terbuka untuk Umum : Ikhwan dan Akhwat)

Daurah Hari ke-2 ini merupakan DAURAH GABUNGAN yang biasa diikuti oleh :

1. Ikhwah Kab. Sidrap selaku tuan rumah.
2. Ikhwah Kota Pare-pare.
3. Ikhwah Kab. Pinrang.
4. Ikhwah Kab. Bone.
5. Ikhwah Kab. Wajo.
6. Ikhwah Kab. Soppeng.
7. Ikhwah Kab. Enrekang.
8. Ikhwah Kab. Polman, Sul-Bar.

Informasi Silakan hubungi :
• Al-Akh Abu Mujahid, (Masjid As-Sunnah, Massepe) 081 342 289 079.
• Al-Akh Abu Yahya, (Masjid As-Sunnah, KaniE) 085 255 600 618.
• Al-Akh Abdul Majid Said, 081 355 132 485.

Catatan :
Alhamdulillah, kajian Hari ke-2 di Desa KaniE yang membahas kitab Kasfus Syubuhat telah selesai bulan lalu, dan mulai bulan ini akan dibuka kajian baru dengan materi kitab Syarh Masa’ilul Jahiliyah. Kajian kitab Al-Ushul Tsalatsah pada Hari ke-1 di Desa Massepe juga sudah masuk pada pembahasan terakhir dan Insya Allah bulan depan akan dibuka kajian baru dengan materi kitab Riyadhus Shalihin.

Lailatul Qadar Selalu pada Malam 27

Penulis : Redaksi Assalafy.org



Sering ada anggapan bahwa kemungkinan besar malam yang dinanti-nanti itu akan tiba pada malam 27. Sehingga, tidaklah mengherankan kalau banyak kaum muslimin -termasuk ikhwanuna salafiyyun- yang menghidupkan malam tersebut dengan porsi ibadah yang lebih dibandingkan malam-malam yang lain.



Yang jelas, tidak ada yang mengetahui kapan terjadinya Lailatul Qadar secara pasti kecuali Allah ‘azza wajalla. Hanya saja, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengisyaratkan dalam sabdanya:



تَحَرَّوْا ليلة القدر في العشر الأواخر من رمضان



“Carilah Lailatul Qadr itu pada sepuluh hari terakhir Ramadhan.” (Muttafaqun ‘alaihi dari Aisyah radhiyallahu ‘anha)



Lebih khusus lagi, adalah malam-malam ganjil sebagaimana sabda beliau:



تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِفِي الْوِتْرِمِنَ الْعَشْرِالْأَوَاخِرِمِنْ رَمَضَانَ



“Carilah Lailatul Qadr itu pada malam-malam ganjil dari sepuluh hari terakhir (bulan Ramadhan)”. (HR. Al-Bukhari dari Aisyah radhiyallahu ‘anha)



Dan lebih khusus lagi adalah malam-malam ganjil pada rentang tujuh hari terakhir dari bulan tersebut.



Beberapa shahabat Nabi pernah bermimpi bahwa Lailatul Qadar tiba di tujuh hari terakhir. Maka Rasulullah bersabda:



أَرَى رُؤْيَاكُمْ قَدْ تَوَاطَأَتْ فِي السَّبْعِ الْأَوَاخِرِ فَمَنْ كَانَ مُتَحَرِّيهَا فَلْيَتَحَرَّهَا فِي السَّبْعِ الْأَوَاخِرِ



“Aku juga bermimpi sama sebagaimana mimpi kalian bahwa Lailatul Qadar pada tujuh hari terakhir, barangsiapa yang berupaya untuk mencarinya, maka hendaknya dia mencarinya pada tujuh hari terakhir.” (Muttafaqun ‘alaihi dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma)



dalam riwayat Muslim dengan lafazh:



الْتَمِسُوهَا فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ يَعْنِي لَيْلَةَ الْقَدْرِ فَإِنْ ضَعُفَ أَحَدُكُمْ أَوْ عَجَزَ فَلَا يُغْلَبَنَّ عَلَى السَّبْعِ الْبَوَاقِي



“Carilah Lailatul Qadar pada sepuluh hari terakhir, jika salah seorang dari kalian merasa lemah atau tidak mampu, maka janganlah sampai terlewatkan tujuh hari yang tersisa dari bulan Ramadhan.” (HR. Muslim dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma)



Dan yang lebih khusus lagi adalah malam 27 sebagaimana sabda Nabi tentang Lailatul Qadar:



لَيْلَةُ سَبْع وَعِشْرِيْنَ



“(Dia adalah) malam ke-27.” (HR. Abu Dawud, dari Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu ‘anhuma, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud dan Asy-Syaikh Muqbil dalam Shahih Al-Musnad)



Shahabat Ubay bin Ka’b radhiyallahu ‘anhu menegaskan:



والله إني لأعلمها وأكثر علمي هي الليلة التي أمرنا رسول الله صلى الله عليه وسلم بقيامها هي ليلة سبع وعشرين



Demi Allah, sungguh aku mengetahui malam (Lailatul Qadr) tersebut. Puncak ilmuku bahwa malam tersebut adalah malam yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan kami untuk menegakkan shalat padanya, yaitu malam ke-27. (HR. Muslim)



Dua riwayat terakhir di atas sering dijadikan dalil untuk menentukan bahwa Lailatul Qadar jatuh pada malam 27. Namun apakah pasti dan selalu malam yang lebih baik dari seribu bulan itu tiba pada malam ke-27 pada setiap tahunnya?



Kata Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah: “Pendapat yang paling kuat adalah bahwa Lailatul Qadar itu terjadi pada malam-malam ganjil di sepuluh hari terakhir Ramadhan, dan waktunya berubah-ubah (pada tiap tahunnya).” (Fathul Bari)



Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah menerangkan: “Lailatul Qadar itu tidak dikhususkan waktunya pada malam tertentu di setiap tahunnya, namun waktunya bisa berubah-ubah, di suatu tahun terjadi pada malam 27 misalnya, dan bisa jadi di tahun yang lain pada malam 25 sesuai dengan kehendak dan hikmah Allah ta’ala.”



Apakah bisa dibenarkan seseorang yang melebihkan semangat dan porsi ibadahnya pada malam 27 saja dan tidak pada malam-malam yang lain?



Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah pernah ditanya:



Kebanyakan orang meyakini bahwa malam ke-27 Ramadhan adalah Lailatul Qadar, sehingga mereka menghidupkan malam tersebut dengan shalat dan ibadah yang lain, namun tidak demikian pada malam-malam yang lain. Apakah yang seperti ini sudah mencocoki kebenaran?



Beliau menjawab:



Yang seperti ini tidak mencocoki kebenaran, karena sesungguhnya Lailatul Qadar itu bisa berbeda-beda kapan terjadinya dari tahun ke tahun, terkadang pada malam 27 dan terkadang pada malam yang lain sebagaimana ditunjukkan oleh banyak hadits tentang permasalahan tersebut.



Telah shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa pada tahun tertentu, diperlihatkan kepada beliau Lailatul Qadar, dan itu terjadi pada malam 21.



Dan telah shahih pula bahwa beliau bersabda:



التمسوها في تاسعة تبقى، في سابعة تبقى، في خامسة تبقى



“Carilah Lailatul Qadar tersebut pada 9 hari tersisa bulan Ramadhan, pada 7 hari tersisa bulan Ramadhan, dan pada 5 hari tersisa bulan Ramadhan.”



Kemudian qiyamullail itu tidak sepantasnya dikhususkan pada malam yang diharapkan terjadinya Lailatul Qadar saja, akan tetapi hendaknya seseorang bersungguh-sungguh pada sepuluh malam terakhir semuanya. Demikianlah petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Ketika memasuki sepuluh hari terakhir Ramadhan, beliau mengencangkan sarungnya, membangunkan keluarganya, dan menghidupkan malam itu ‘alaihish shalatu wassalam. Maka sudah selayaknya bagi seorang mukmin yang teguh, untuk bersungguh-sungguh dalam mengisi malam-malam yang sepuluh tersebut seluruhnya sehingga dia tidak akan luput dari pahalanya. (Majmu’ Fatawa Wa Rasa’il Ibni ‘Utsaimin)



Apa hikmah tidak diketahuinya waktu terjadinya Lailatul Qadar secara pasti?



Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah mengatakan: “Sesungguhnya Allah subhanahu wata’ala menyembunyikan pengetahuan tentang kapan kepastian terjadinya Lailatul Qadar kepada para hamba-Nya adalah karena kasih sayang-Nya kepada mereka, supaya para hamba tadi semakin memperbanyak amalannya dalam rangka mencari Lailatul Qadar di malam-malam yang penuh kemuliaan tersebut dengan shalat, dzikir, dan do’a. Sehingga akan semakin bertambahlah kedekatan mereka kepada Allah ta’ala dan bertambah pula pahala yang akan diraihnya. Allah juga tidak menampakkan pengetahuan tentang kapan kepastian terjadinya Lailatul Qadar sebagai ujian bagi hamba-Nya, agar menjadi jelas siapa yang benar-benar bersungguh-sungguh dan semangat dalam mencari Lailatul Qadar, dan siapa yang bermalas-malasan dan hanya seenaknya saja. Seorang yang bersemangat untuk mendapatkan sesuatu, pasti dia bersungguh-sungguh dalam mencarinya dan kepayahan untuk meraih sesuatu yang diinginkan tadi menjadi hal yang ringan baginya.” (Majmu’ Fatawa Wa Rasa’il Ibni ‘Utsaimin)



Wallahu a’lam.

Minggu, 15 Juni 2014

Doa Ketika Sedang Menghadapi Masalah atau Kesulitan

Dalam hidup kita pasti pernah bahkan mungkin sering menghadapi masalah dan kesulitan. Tapi yang perlu kita ingat adalah bahwa masalah yang kita hadapi tidak akan seberat yang kita pikirkan. Allah pasti sudah memberikan masalah yang sesuai dengan kemampuan kita. Pernahkah anda berdoa ketika sedang menghadapi kesulitan hidup?

Doa Ketika Sedang Menghadapi Masalah atau Kesulitan

Sebagai orang yang beriman, doa adalah senjata untuk mengatasi masalah apapun. Sebab hanya dengan doa dan usaha, maka kita akan mempunyai kekuatan lebih untuk menghadapi kesulitan itu.

Dan berikut ini adalah doa mohon diberi kemudahan ketika sedang menghadapi masalah atau kesulitan:

اَللَّهُمَّ لا سَهْلَ إِلاَّ مَا جَعَلْتَهُ سَهْلاً وَ أَنْتَ تَجْعَلُ الْحَزْنَ إِذَا شِئْتَ سَهْلاً

Allaahumma Laa Sahla Illaa Maa Ja’altahu Sahlaa Wa Anta Taj’alul Hazna Idza Syi’ta Sahlaa

Artinya:  

Ya Allah, tidak ada kemudahan kecuali apa yang Engkau jadikan mudah. Dan apabila Engkau berkehendak, Engkau akan menjadikan kesusahan menjadi kemudahan.”


Doa Ketika Menghadapi Masalah atau Kesulitan

Ciri Ciri Ulama Ahlusunnah

Penulis: Al Ustadz Abu Usamah bin Rawiyah An Nawawi

Siapa yang dinamakan Ulama?

Terdapat beberapa ungkapan ulama dalam mendefinisikan ulama. Ibnu Juraij rahimahullah menukilkan (pendapat) dari ‘Atha, beliau berkata: “Barangsiapa yang mengenal Allah, maka dia adalah orang alim.” (Jami’ Bayan Ilmu wa Fadhlih, hal. 2/49)
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah dalam kitab beliau Kitabul ‘Ilmi mengatakan: “Ulama adalah orang yang ilmunya menyampaikan mereka kepada sifat takut kepada Allah.” (Kitabul ‘Ilmi hal. 147)
Badruddin Al-Kinani rahimahullah mengatakan: “Mereka (para ulama) adalah orang-orang yang menjelaskan segala apa yang dihalalkan dan diharamkan, dan mengajak kepada kebaikan serta menafikan segala bentuk kemudharatan.” (Tadzkiratus Sami’ hal. 31)

Abdus Salam bin Barjas rahimahullah mengatakan: “Orang yang pantas untuk disebut sebagai orang alim jumlahnya sangat sedikit sekali dan tidak berlebihan kalau kita mengatakan jarang. Yang demikian itu karena sifat-sifat orang alim mayoritasnya tidak akan terwujud pada diri orang-orang yang menisbahkan diri kepada ilmu pada masa ini.

Bukan dinamakan alim bila sekedar fasih dalam berbicara atau pandai menulis, orang yang menyebarluaskan karya-karya atau orang yang men-tahqiq kitab-kitab yang masih dalam tulisan tangan. Kalau orang alim ditimbang dengan ini, maka cukup (terlalu banyak orang alim). Akan tetapi penggambaran seperti inilah yang banyak menancap di benak orang-orang yang tidak berilmu. Oleh karena itu banyak orang tertipu dengan kefasihan seseorang dan tertipu dengan kepandaian berkarya tulis, padahal ia bukan ulama. Ini semua menjadikan orang-orang takjub. Orang alim hakiki adalah yang mendalami ilmu agama, mengetahui hukum-hukum Al Quran dan As Sunnah. Mengetahui ilmu ushul fiqih seperti nasikh dan mansukh, mutlak, muqayyad, mujmal, mufassar, dan juga orang-orang yang menggali ucapan-ucapan salaf terhadap apa yang mereka perselisihkan.” (Wujubul Irtibath bi ‘Ulama, hal. 8)

Allah Subhanahu wa Taala menjelaskan ciri khas seorang ulama yang membedakan dengan kebanyakan orang yang mengaku berilmu atau yang diakui sebagai ulama bahkan waliyullah. Dia berfirman:
إِنَّماَ يَخْشَى اللهَ مِنْ عِباَدِهِ الْعُلَمآءُ
“Sesungguhnya yang paling takut kepada Allah adalah ulama.” (Fathir: 28)

Ciri-ciri Ulama

Pembahasan ini bertujuan untuk mengetahui siapa sesungguhnya yang pantas untuk menyandang gelar ulama dan bagaimana besar jasa mereka dalam menyelamatkan Islam dan muslimin dari rongrongan penjahat agama, mulai dari masa terbaik umat yaitu generasi shahabat hingga masa kita sekarang.

Pembahasan ini juga bertujuan untuk memberi gambaran (yang benar) kepada sebagian muslimin yang telah memberikan gelar ulama kepada orang yang tidak pantas untuk menyandangnya.
a. Sebagian kaum muslimin ada yang meremehkan hak-hak ulama. Di sisi mereka, yang dinamakan ulama adalah orang yang pandai bersilat lidah dan memperindah perkataannya dengan cerita-cerita, syair-syair, atau ilmu-ilmu pelembut hati.
b. Sebagian kaum muslimin menganggap ulama itu adalah orang yang mengerti realita hidup dan yang mendalaminya, orang-orang yang berani menentang pemerintah -meski tanpa petunjuk ilmu.
c. Diantara mereka ada yang menganggap ulama adalah kutu buku, meskipun tidak memahami apa yang dikandungnya sebagaimana yang dipahami generasi salaf.
d. Diantara mereka ada yang menganggap ulama adalah orang yang pindah dari satu tempat ke tempat lain dengan alasan mendakwahi manusia. Mereka mengatakan kita tidak butuh kepada kitab-kitab, kita butuh kepada da’i dan dakwah.
e. Sebagian muslimin tidak bisa membedakan antara orang alim dengan pendongeng dan juru nasehat, serta antara penuntut ilmu dan ulama. Di sisi mereka, para pendongeng itu adalah ulama tempat bertanya dan menimba ilmu.

Diantara ciri-ciri ulama adalah:
1. Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah mengatakan: “Mereka adalah orang-orang yang tidak menginginkan kedudukan, dan membenci segala bentuk pujian serta tidak menyombongkan diri atas seorang pun.” Al-Hasan mengatakan: “Orang faqih adalah orang yang zuhud terhadap dunia dan cinta kepada akhirat, bashirah (berilmu) tentang agamanya dan senantiasa dalam beribadah kepada Rabbnya.” Dalam riwayat lain: “Orang yang tidak hasad kepada seorang pun yang berada di atasnya dan tidak menghinakan orang yang ada di bawahnya dan tidak mengambil upah sedikitpun dalam menyampaikan ilmu Allah.” (Al-Khithabul Minbariyyah, 1/177)

2. Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah mengatakan: “Mereka adalah orang yang tidak mengaku-aku berilmu, tidak bangga dengan ilmunya atas seorang pun, dan tidak serampangan menghukumi orang yang jahil sebagai orang yang menyelisihi As-Sunnah.”

3. Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan: “Mereka adalah orang yang berburuk sangka kepada diri mereka sendiri dan berbaik sangka kepada ulama salaf. Dan mereka mengakui ulama-ulama pendahulu mereka serta mengakui bahwa mereka tidak akan sampai mencapai derajat mereka atau mendekatinya.”

4. Mereka berpendapat bahwa kebenaran dan hidayah ada dalam mengikuti apa-apa yang diturunkan Allah Subhanahu wa Taala. Allah Subhanahu wa Taala berfirman:

وَيَرَى الَّذِيْنَ أُوْتُوْا الْعِلْمَ الَّذِي أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ هُوَ الْحَقَّ وَيَهْدِي إِلَى صِرَاطِ الْعَزِيْزِ الْحَمِيْدِ
“Dan orang-orang yang diberikan ilmu memandang bahwa apa yang telah diturunkan kepadamu (Muhammad) dari Rabbmu adalah kebenaran dan akan membimbing kepada jalan Allah Yang Maha Mulia lagi Maha Terpuji.” (Saba: 6)

5. Mereka adalah orang yang paling memahami segala bentuk permisalan yang dibuat Allah Subhanahu wa Taala di dalam Al Qur’an, bahkan apa yang dimaukan oleh Allah dan Rasul-Nya. Allah Subhanahu wa Taala berfirman:

وَتِلْكَ اْلأَمْثاَلُ نَضْرِبُهاَ لِلنَّاسِ وَماَ يَعْقِلُهاَ إِلاَّ الْعاَلِمُوْنَ
“Demikianlah permisalan-permisalan yang dibuat oleh Allah bagi manusia dan tidak ada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu.” (Al-’Ankabut: 43)

6. Mereka adalah orang-orang yang memiliki keahlian melakukan istinbath(mengambil hukum) dan memahaminya. Allah Subhanahu wa Taala berfirman:

وَإِذَا جآءَهُمْ أَمْرٌ مِنَ اْلأَمْنِ أَوْ الْخَوْفِ أَذَاعُوْا بِهِ وَلَوْ رَدُّوْهُ إِلَى الرَّسُوْلِ وَإِلَى أُولِي اْلأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِيْنَ يَسْتَنْبِطُوْنًهُ مِنْهُمْ وَلَوْ لاَ فَضْلَ اللهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ لاَتَّبَعْتُمُ الشَّيْطاَنَ إِلاَّ قَلِيْلاً
“Apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan atau ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Kalau mereka menyerahkan kepada rasul dan ulil amri diantara mereka, tentulah orang-orang yang mampu mengambil hukum (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (rasul dan ulil amri). Kalau tidak dengan karunia dan rahmat dari Allah kepada kalian, tentulah kalian mengikuti syaithan kecuali sedikit saja.” (An-Nisa: 83)

7. Mereka adalah orang-orang yang tunduk dan khusyu’ dalam merealisasikan perintah-perintah Allah Subhanahu wa Taala. Allah Subhanahu wa Taala berfirman:

قُلْ آمَنُوا بِهِ أَوْ لاَ تُؤْمِنُوا إِنَّ الَّذِيْنَ أَوْتُوا الْعِلْمَ مِنْ قَبْلِهِ إِذِا يُتْلَى عَلَيْهِمْ يَخِرُّوْنَ لِلأًذْقاَنِ سُجَّدًا. وَيَقُوْلُوْنَ سُبْحاَنَ رَبِّناَ إِنْ كاَنَ وَعْدُ رَبِّناَ لَمَفْعُوْلاً. وَيَخِرُّوْنَ لِلأَذْقاَنِ يَبْكُوْنَ وَيَزِيْدُهُمْ خُشُوْعاً
“Katakanlah: ‘Berimanlah kamu kepadanya atau tidak usah beriman (sama saja bagi Allah). Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya apabila Al Qur’an dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur atas muka mereka sambil bersujud, dan mereka berkata: “Maha Suci Tuhan kami; sesungguhnya janji Tuhan kami pasti dipenuhi”. Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyu’.” (Al-Isra: 107-109) [Mu’amalatul ‘Ulama karya Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Umar bin Salim Bazmul, Wujub Al-Irtibath bil ‘Ulama karya Asy-Syaikh Hasan bin Qasim Ar-Rimi]

Inilah beberapa sifat ulama hakiki yang dimaukan oleh Allah Subhanahu wa Taala di dalam Al-Qur’an dan Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam di dalam Sunnahnya. Dengan semua ini, jelaslah orang yang berpura-pura berpenampilan ulama dan berbaju dengan pakaian mereka padahal tidak pantas memakainya. Semua ini membeberkan hakikat ulama ahlul bid’ah yang mana mereka bukan sebagai penyandang gelar ini. Dari Al-Quran dan As-Sunnah mereka jauh dan dari manhaj salaf mereka keluar.

Contoh-contoh Ulama Rabbani

Pembahasan ini bukan membatasi mereka akan tetapi sebagai permisalan hidup ulama walau mereka telah menghadap Allah Subhanahu wa Taala. Mereka hidup dengan jasa-jasa mereka terhadap Islam dan muslimin dan mereka hidup dengan karya-karya peninggalan mereka. Sebagai berikut :
1. Generasi shahabat yang langsung dipimpin oleh empat khalifah Ar-Rasyidin: Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman, dan ‘Ali.
2. Generasi tabiin dan diantara tokoh mereka adalah Sa’id bin Al-Musayyib (meninggal setelah tahun 90 H), ‘Urwah bin Az-Zubair (meninggal tahun 93 H), ‘Ali bin Husain Zainal Abidin (meninggal tahun 93 H), Muhammad bin Al-Hanafiyyah (meninggal tahun 80 H), ‘Ubaidullah bin Abdullah bin ‘Utbah bin Mas’ud (meninggal tahun 94 H atau setelahnya), Salim bin Abdullah bin ‘Umar (meninggal tahun 106 H), Al-Hasan Al-Basri (meninggal tahun 110 H), Muhammad bin Sirin (meninggal tahun 110 H), ‘Umar bin Abdul ‘Aziz (meninggal tahun 101 H), dan Muhammad bin Syihab Az-Zuhri (meninggal tahun 125 H).
3. Generasi atba’ at-tabi’in dan diantara tokoh-tokohnya adalah Al-Imam Malik (179 H), Al-Auza’i (107 H), Sufyan bin Sa’id Ats-Tsauri (161 H), Sufyan bin ‘Uyainah (198 H), Ismail bin ‘Ulayyah (193 H), Al-Laits bin Sa’d (175 H), dan Abu Hanifah An-Nu’man (150 H).
4. Generasi setelah mereka, diantara tokohnya adalah Abdullah bin Al-Mubarak (181 H), Waki’ bin Jarrah (197 H), Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i (203 H), Abdurrahman bin Mahdi (198 H), Yahya bin Sa’id Al-Qaththan (198 H), ‘Affan bin Muslim (219 H).
5. Murid-murid mereka, diantara tokohnya adalah Al-Imam Ahmad bin Hanbal (241 H), Yahya bin Ma’in (233 H), ‘Ali bin Al-Madini (234 H).
6. Murid-murid mereka seperti Al-Imam Bukhari (256 H), Al-Imam Muslim (261 H), Abu Hatim (277 H), Abu Zur’ah (264 H), Abu Dawud (275 H), At-Tirmidzi (279 H), dan An-Nasai (303 H).
7. Generasi setelah mereka, diantaranya Ibnu Jarir (310 H), Ibnu Khuzaimah (311 H), Ad-Daruquthni (385 H), Al-Khathib Al-Baghdadi (463 H), Ibnu Abdil Bar An-Numairi (463 H).
8. Generasi setelah mereka, diantaranya adalah Abdul Ghani Al-Maqdisi, Ibnu Qudamah (620 H), Ibnu Shalah (643 H), Ibnu Taimiyah (728 H), Al-Mizzi (743 H), Adz-Dzahabi (748 H), Ibnu Katsir (774 H) berikut para ulama yang semasa mereka atau murid-murid mereka yang mengikuti manhaj mereka dalam berpegang dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah sampai pada hari ini.
9. Contoh ulama di masa ini adalah Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz, Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, Asy-Syaikh Muhammad Aman Al-Jami, Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i, dan selain mereka dari ulama yang telah meninggal di masa kita. Berikutnya Asy-Syaikh Ahmad bin Yahya An-Najmi, Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan, Asy-Syaikh Zaid Al-Madkhali, Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz Alu Syaikh, Asy-Syaikh Abdul Muhsin Al-’Abbad, Asy-Syaikh Al-Ghudayyan, Asy-Syaikh Shalih Al-Luhaidan, Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali, Asy-Syaikh Shalih As-Suhaimi, Asy-Syaikh ‘Ubaid Al-Jabiri dan selain mereka yang mengikuti langkah-langkah mereka di atas manhaj Salaf. (Makanatu Ahli Hadits karya Asy-Syaikh Rabi bin Hadi Al-Madkhali dan Wujub Irtibath bi Ulama)

Wallahu a’lam.

(Dikutip dari majalah Asy Syariah, Vol. I/No. 12/1425 H/2005, judul asli Ciri-Ciri Ulama, karya Al Ustadz Abu Usamah bin Rawiyah An Nawawi, url http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=229)
Sumber URL : http://www.salafy.or.id

Bentuk – Bentuk Sesembahan yang Harus Di Jauhi oleh Ahlut Tauhid

Penulis: Abu Abdirrahman

Saudaraku muslimin, pada beberapa edisi buletin kita yang telah lalu, Anda tentu telah paham apa konsekuensi (tanggung jawab moral) yang mesti dilakukan oleh orang yang benar-benar bertauhid (mengesakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam beribadah). Yakni kita wajib beribadah hanya kepada Allah Ta’ala saja, dan wajib pula meninggalkan seluruh jenis peribadatan kepada selain Allah.

Kemudian, hal terpenting lainnya yang juga perlu anda ketahui sekarang adalah apa saja bentuk – bentuk sesembahan (berhala – berhala) yang harus di jauhi oleh orang – orang yang bertauhid itu.

Saudaraku, di dunia ini banyak sekali bentuk-bentuk berhala atau sesembahan yang di agungkan dan di puja-puja oleh umat manusia. Padahal, inilah yang seharusnya diperangi dan di jauhi oleh Ahlut Tauhid (orang-orang yang benar-benar bertauhid). Adapun bentuk-bentuk berhala atau sesembahan tersebut adalah :

Pertama : Al-Ilaahatu min Duunillah (semua bentuk sesembahan atau yang di pertuhankan selain Allah), yaitu segala sesuatu yang diminta tolong untuk mendatangkan manfaat atau menolak bala’ (marabahaya) selain Allah. Bentuknya banyak sekali, diantaranya : Pohon-pohon yang di keramatkan, batu-batuan (arca atau patung) yang disembah, jin-jin dan setan, orang-orang yang telah mati, kuburan-kuburan para wali atau kyai yang di keramatkan, keris pusaka, cincin akik dan segala jenis jimat, dan lain-lain.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (yang artinya) : “Sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu, apabila di katakan kepada mereka : “(Ucapkanlah) Laa ilaaha illalloh (tidak ada tuhan yang berhak di sembah selain Allah)”, maka mereka menyombongkan diri seraya berkata : “Apakah kita harus meninggalkan sesembahan (tuhan-tuhan) kita (selain Allah), hanya untuk menuruti penyair yang gila ini ? “
(QS. Ash-Shoffaat : 35-36).

Dalam ayat yang mulia ini, kita tahu bahwa orang-orang musyrik itu memiliki banyak tuhan. Dan ketika mereka di ajak untuk menjauhi segala bentuk sesembahan atau tuhan-tuhan selain Allah itu, mereka enggan dan menyombongkan diri, karena hati mereka telah terpaut dengan sesembahan itu.

Kedua : “At-Thowaaghiit “(para thoghut), yakni segala sesuatu yang di sembah, di ikuti dan di taati melebihi batas kedudukannya sebagai hamba Allah. Bentuknya banyak sekali, tetapi tokoh – tokoh utamanya ada lima, yakni :

1. Iblis la’natullah ‘alaih ( semoga Allah terus menerus melaknatinya )
2. Orang yang di sembah, diagungkan dan di puja-puja oleh orang lain dan dia ridha (senang) dengan perbuatan tersebut, baik orangnya ini masih hidup atau sudah mati.
3. Orang yang mengajak atau memerintahkan orang lain untuk menyembah dirinya (menyembah orang yang memerintahnya), baik ajakannya ini disambut / di ikuti oleh orang atau tidak.
4. Orang yang mengaku-ngaku tahu hal-hal yang ghoib. Namanya banyak sekali, baik itu tukang dukun, tukang ramal, paranormal, orang pinter, orang yang sakti mandra guna dan yang sejenisnya.
5. Orang yang menghukumi sesuatu selain dengan hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala. (lihat penjelasan tokoh – tokoh utama thoghut ini dalam kitab Syarh Tsalatsatil Ushul, hal. 153 – 155, karya Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-Utsaimin rahimahullah).

Sementara itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman : “……(karena itu) barang siapa kufur (ingkar) kepada thoghut, dan hanya beriman kepada Allah saja, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada ikatan tali yang amat kuat (yakni kalimat Laa ilaaha illalloh), yang tidak akan putus …..”(QS. Al-Baqoroh : 256).

Ketiga : Al – Andaad (sekutu-sekutu atau tandingan-tandingan selain Allah dalam hal ibadah), yakni segala sesuatu yang menghalangi seseorang yang melaksanakan ajaran agama Islam dengan benar, yang di cintai seperti mencintai Allah. Bentuknya banyak sekali, diantaranya : Istri-istri, anak-anak, tempat tinggal, keluarga, harta benda, jabatan dan lain-lain.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman : “Dan diantara sebagian manusia, ada yang mengambil (menjadikan) selain Allah sebagai tandingan-tandingan (sekutu), mereka mencintai tandingan-tandingan itu seperti layaknya mencintai Allah, sedangkan orang-orang yang beriman itu sangat cinta kepada Allah….”
(QS. Al-Baqoroh : 165).

Rasulullah Sholallahu ‘alahi wa sallam bersabda : “Barang siapa mati dalam keadaan masih menyembah kepada tandingan / sekutu selain Allah, niscaya dia masuk neraka. “(HR. Bukhori).

Begitulah akibat yang harus ditanggung oleh orang yang mencintai tandingan-tandingan selain Allah, Kita lihat, banyak orang yang mencintai keluarga, harta benda, jabatan atau kekuasaan dan lain-lain, hingga melalaikan kewajiban ibadah kepada Allah, atau bahkan mengabaikan hak – hak Allah sama sekali. Wal ‘iyyadzu billah.

Keempat : Al-Arbaab (tuhan-tuhan), yakni orang-orang yang membuat syariat baru (yang menyelisihi syari’at Allah), yang isinya menghalalkan apa yang di haramkan apa yang di halalkan oleh-Nya, lalu syari’atnya ini diikuti oleh para pengikutnya. (Lihat Kitab Al-Qoulul Mufid ‘alaa KitabAt-Tauhid(2/260), karya Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-Utsaimin rahimahullah).

Allah menceritakan tentang hal ini dalam firman – Nya : “…..mereka (orang-orang yang Nasrani itu) menjadikan Ahbar (pendeta/pendeta / alim ulama) mereka dan Ruhban (rahib-rahib / biarawan / para ahli ibadah) mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah….”(qs. At-Taubah : 31).

Maksudnya, orang – orang nasrani telah mengangkat pendeta-pendeta dan biarawan-biarawan mereka sebagai tuhan – tuhan selain Allah, karena ketika para pendeta itu mengharamkan apa yang di halalkan oleh Allah, maka mereka (umat nasrani itu) pun mematuhinya. Contohnya : Para pendeta itu mengharamkan nikah bagi para biarawan agar menjadi ahli ibadah, maka merekapun taat kepadanya. Para pendeta itu pun juga berani menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah, seperti memakan daging babi, meminum-minuman keras dan lain-lain., maka orang-orang nasrani yang dungu itupun mengikutinya. Sikap taklid mereka seperti itu sama artinya dengan menjadikan para pendeta dan para biarawan itu sebagai tuhan-tuhan selain Allah.

Dan di kalangan umat Islam inipun ada orang-orang yang menyerupai perbuatan orang-orang nasrani. Mereka menjadikan para ulama, kyai, pemimpin agama atau tokoh-tokoh masyarakat mereka yang sesat sebagai sebagai tuhan-tuhan selain Allah. Ketika para kyai itu berani menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang di halalkan oleh Allah, maka orang-orang yang awwam dan bodoh tentang agama ini pun mengikutinya. Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un.

Saudaraku muslimin, itulah empat macam atau empat bentuk sesembahan (tuhan-tuhan yang di puja selain Allah) yang harus kita jauhi, bila kita benar-benar Ahlut Tauhid. Karena itu waspadalah darinya. Semoga kita termasuk golongan orang-orang yang di sabdakan oleh Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam : “Barang siapa mengucapkan kalimat “Laa ilaaha illalloh”’ lalu mengingkari apa saja yang di sembah selain Allah, maka ia akan masuk surga.” (HR. Muslim, Ahmad dan At-Thobroni)
Wallahu a’lamu bish showwab !

Maroji’ :
Dinukil dari kumpulan risalah Soal Jawab masalah Aqidah oleh Al-Ustadz Agus Su’aidi, kemudian diolah dan disusun kembali dengan beberapa perubahan dan tambahan oleh Abu Abdirrahman.

Sumber : BULETIN DAKWAH AT-TASHFIYYAH, Surabaya Edisi : 12 / Muharram / 1425

www.darussalaf.or.id

Sabtu, 14 Juni 2014

Hari Kasih atau Valentine dalam tinjauan syariat

Penulis: Al Lajnah ad Daimah li al Buhuts al ‘Ilmiyyah wa al Ifta

Valentine’s Day sebenarnya, bersumber dari paganisme orang musyrik, penyembahan berhala dan penghormatan pada pastor kuffar. Bahkan tak ada kaitannya dengan “kasih sayang”, lalu kenapa kita masih juga menyambut Hari Valentine ? Adakah ia merupakan hari yang istimewa? Adat? Atau hanya ikut-ikutan semata tanpa tahu asal muasalnya?

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mengetahui tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya akan diminta pertangggungjawabannya” (Al Isra : 36).

Sebelum kita terjerumus pada budaya yang dapat menyebabkan kita tergelincir kepada kemaksiatan maupun penyesalan, kita tahu bahwa acara itu jelas berasal dari kaum kafir yang akidahnya berbeda dengan ummat Islam, sedangkan Rasulullah bersabda: Diriwayatkan dari Abu Said al-Khudri Radiyallahu anhu : Rasulullah bersabda: "Kamu akan mengikuti sunnah orang-orang sebelum kamu sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta. Sampai mereka masuk ke dalam lubang biawak kamu tetap mengikuti mereka. Kami bertanya: Wahai Rasulullah, apakah yang kamu maksudkan itu adalah orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani? Rasulullah bersabda: Kalau bukan mereka, siapa lagi?" ( HR. Bukhori dan Muslim ).

Pertanyaan : Sebagian orang merayakan Yaum Al-Hubb (Hari Kasih Sayang) pada tanggal 14 Februari [bulan kedua pada kalender Gregorian kristen / Masehi] setiap tahun, diantaranya dengan saling-menghadiahi bunga mawar merah. Mereka juga berdandan dengan pakaian merah (merah jambu,red), dan memberi ucapan selamat satu sama lain (berkaitan dengan hari tsb).

Beberapa toko-toko gula-gula pun memproduksi manisan khusus - berwarna merah- dan yang menggambarkan simbol hati/jantung ketika itu (simbol love/cinta, red). Toko-tokopun tersebut mengiklankan yang barang-barang mereka secara khusus dikaitkan dengan hari ini. Bagaimana pandangan syariah Islam mengenai hal berikut :

1. Merayakan hari valentine ini ?
2. Melakukan transaksi pembelian pada hari valentine ini?
3. Transaksi penjualan – sementara pemilik toko tidak merayakannya – dalam berbagai hal yang dapat digunakan sebagai hadiah bagi yang sedang merayakan?
Semoga Allah memberi Anda penghargaan dengan seluruh kebaikan !

Jawaban : Bukti yang jelas terang dari Al Qur’an dan Sunnah - dan ini adalah yang disepakati oleh konsensus ( Ijma) dari ummah generasi awal muslim - menunjukkan bahwa ada hanya dua macam Ied (hari Raya) dalam Islam : Ied Al-Fitr (setelah puasa Ramadhan) dan Ied Al-Adha (setelah hari Arafah untuk berziarah).

Maka seluruh Ied yang lainnya - apakah itu adalah buatan seseorang, kelompok, peristiwa atau even lain – yang diperkenalkan sebagai hari Raya / ‘Ied, tidaklah diperkenankan bagi muslimin untuk mengambil bagian didalamnya, termasuk mengadakan acara yang menunjukkan sukarianya pada even tersebut, atau membantu didalamnya – apapun bentuknya – sebab hal ini telah melampaui batas-batas syari’ah Allah:

وَتِلْكَ حُدُودُاللَّهِ وَمَن يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ
Itulah hukum-hukum Allah dan barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. [ Surah At-Thalaq ayat 1]

Jika kita menambah-nambah Ied yang telah ditetapkan, sementara faktanya bahwa hari raya ini merupakan hari raya orang kafir, maka yang demikian termasuk berdosa. Disebabkan perayaan Ied tersebut meniru-niru (tasyabbuh) dengan perilaku orang-orang kafir dan merupakan jenis Muwaalaat (Loyalitas) kepada mereka. Dan Allah telah melarang untuk meniru-niru perilaku orang kafir tersebut dan termasuk memiliki kecintaan, kesetiaan kepada mereka, yang termaktub dalam kitab Dzat yang Maha Perkasa (Al Qur’an). Ini juga ketetapan dari Nabi (Shalallaahu ` Alaihi wa sallam) bahwa beliau bersabda : “Barangsiapa meniru suatu kaum, maka dia termasuk dari kaum tersebut”.

Ied al-Hubb (perayaan Valentines Day) datangnya dari kalangan apa yang telah disebutkan, termasuk salah satu hari besar / hari libur dari kaum paganis Kristen. Karenanya, diharamkan untuk siapapun dari kalangan muslimin, yang dia mengaku beriman kepada Allah dan Hari Akhir, untuk mengambil bagian di dalamnya, termasuk memberi ucapan selamat (kepada seseorang pada saat itu). Sebaliknya, adalah wajib untuknya menjauhi dari perayaan tersebut - sebagai bentuk ketaatan pada Allah dan Rasul-Nya, dan menjaga jarak dirinya dari kemarahan Allaah dan hukumanNya.

Lebih-lebih lagi, hal itu terlarang untuk seorang muslim untuk membantu atau menolong dalam perayaan ini, atau perayaan apapun juga yang termasuk terlarang, baik berupa makanan atau minuman, jual atau beli, produksi, ucapan terima kasih, surat-menyurat, pengumuman, dan lain lain. Semua hal ini dikaitkan sebagai bentuk tolong-menolong dalam dosa serta pelanggaran, juga sebagai bentuk pengingkaran atas Allah dan Rasulullah. Allaah, Dzat yang Maha Agung dan Maha Tinggi, berfirman:

وَتَعَاوَنُواْ عَلَى الْبرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُواْ عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُواْ اللّهَ إِنَّ اللّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertaqwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya. [Surah al-Maa.idah, Ayat 2]
Demikian juga, termasuk kewajiban bagi tiap-tiap muslim untuk memegang teguh atas Al Qur’an dan Sunnah dalam seluruh kondisi - terutama saat terjadi rayuan dan godaan kejelekan. Maka semoga dia memahami dan sadar dari akibat turutnya dia dalam barisan sesat tersebut yang Allah murka padanya (Yahudi) dan atas mereka yang tersesat (Kristen), serta orang-orang yang mengikuti hawa nafsu diantara mereka, yang tidak punya rasa takut - maupun harapan dan pahala - dari Allah, dan atas siapa-siapa yang memberi perhatian sama sekali atas Islam.

Maka hal ini sangat penting bagi muslim untuk bersegera kembali ke jalan Allah, yang Maha Tinggi, mengharap dan memohon Hidayah Nya (Bimbingan) dan Tsabbat (Keteguhan) atas jalanNya. Dan sungguh, tidak ada pemberi petunjuk kecuali Allaah, dan tak seorangpun yang dapat menganugrahkan keteguhan kecuali dariNya.

Dan kepada Allaah lah segala kesuksesan dan semgoa Allaah memberikan sholawat dan salam atas Nabi kita ( Shalallaahu ` Alaihi wa sallam) beserta keluarganya dan rekannya.

Lembaga tetap pengkajian ilmiah dan riset fatwa
Ketua : Syaikh Abdul Aziz Al Asy-Syaikh;
Wakil Ketua : Syaikh Saalih ibn Fauzaan;
Anggota: Syaikh Abdullaah ibn Ghudayyaan;

Anggota: Syaikh Bakar Ibn Abdullaah Abu Zaid

(Fataawa al-Lajnah ad-Daaimah lil-Buhuts al-Ilmiyyah Wal-Iftaa.- Fatwa Nomor 21203. Lembaga tetap pengkajian ilmiah dan riset fatwa Saudi Arabia)

Dinukil dari http://www.fatwa-online.com/fataawa/innovations/celebrations/cel003/0020123_1.htm.

Pertanyaan : Bagaimana hukum merayakan hari Kasih Sayang / Valentine Days ?

Syaikh Muhammad Sholih Al-Utsaimin menjawab :
“Merayakan hari Valentine itu tidak boleh, karena:

Pertama: ia merupakan hari raya bid‘ah yang tidak ada dasar hukumnya di dalam syari‘at Islam.

Kedua: ia dapat menyebabkan hati sibuk dengan perkara-perkara rendahan seperti ini yang sangat bertentangan dengan petunjuk para salaf shalih (pendahulu kita) – semoga Allah meridhai mereka. Maka tidak halal melakukan ritual hari raya, baik dalam bentuk makan-makan, minum-minum, berpakaian, saling tukar hadiah ataupun lainnya. Hendaknya setiap muslim merasa bangga dengan agamanya, tidak menjadi orang yang tidak mempunyai pegangan dan ikut-ikutan. Semoga Allah melindungi kaum muslimin dari segala fitnah (ujian hidup), yang tampak ataupun yang tersembunyi dan semoga meliputi kita semua dengan bimbingan-Nya.”

Maka adalah wajib bagi setiap orang yang mengucapkan dua kalimat syahadat untuk melaksanakan wala’ dan bara’ ( loyalitas kepada muslimin dan berlepas diri dari golongan kafir) yang merupakan dasar akidah yang dipegang oleh para salaf shalih. Yaitu mencintai orang-orang mu’min dan membenci dan menyelisihi (membedakan diri dengan) orang-orang kafir dalam ibadah dan perilaku.

Di antara dampak buruk menyerupai mereka adalah: ikut mempopulerkan ritual-ritual mereka sehingga terhapuslah nilai-nilai Islam. Dampak buruk lainnya, bahwa dengan mengikuti mereka berarti memperbanyak jumlah mereka, mendukung dan mengikuti agama mereka, padahal seorang muslim dalam setiap raka’at shalatnya membaca,

“Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.” (Al-Fatihah:6-7)

Bagaimana bisa ia memohon kepada Allah agar ditunjukkan kepadanya jalan orang-orang yang mukmin dan dijauhkan darinya jalan golongan mereka yang sesat dan dimurkai, namun ia sendiri malah menempuh jalan sesat itu dengan sukarela. Lain dari itu, mengekornya kaum muslimin terhadap gaya hidup mereka akan membuat mereka senang serta dapat melahirkan kecintaan dan keterikatan hati.

Allah Subhannahu wa Taala telah berfirman, yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (Al-Maidah:51)

“Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya.” (Al-Mujadilah: 22)

Ada seorang gadis mengatakan, bahwa ia tidak mengikuti keyakinan mereka, hanya saja hari Valentine tersebut secara khusus memberikan makna cinta dan suka citanya kepada orang-orang yang memperingatinya.

Saudaraku! Ini adalah suatu kelalaian, padahal sekali lagi: Perayaan ini adalah acara ritual agama lain! Hadiah yang diberikan sebagai ungkapan cinta adalah sesuatu yang baik, namun bila dikaitkan dengan pesta-pesta ritual agama lain dan tradisi-tradisi Barat, akan mengakibatkan seseorang terobsesi oleh budaya dan gaya hidup mereka.

Mengadakan pesta pada hari tersebut bukanlah sesuatu yang sepele, tapi lebih mencerminkan pengadopsian nilai-nilai Barat yang tidak memandang batasan normatif dalam pergaulan antara pria dan wanita sehingga saat ini kita lihat struktur sosial mereka menjadi porak-poranda.

Alhamdulillah, kita mempunyai pengganti yang jauh lebih baik dari itu semua, sehingga kita tidak perlu meniru dan menyerupai mereka. Di antaranya, bahwa dalam pandangan kita, seorang ibu mempunyai kedudukan yang agung, kita bisa mempersembahkan ketulusan dan cinta itu kepadanya dari waktu ke waktu, demikian pula untuk ayah, saudara, suami …dst, tapi hal itu tidak kita lakukan khusus pada saat yang dirayakan oleh orang-orang kafir.

Semoga Allah Subhannahu wa Taala senantiasa menjadikan hidup kita penuh dengan kecintaan dan kasih sayang yang tulus, yang menjadi jembatan untuk masuk ke dalam Surga yang hamparannya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa.

Menyampaikan Kebenaran adalah kewajiban setiap Muslim. Kesempatan kita saat ini untuk berdakwah adalah dengan menyampaikan buletin ini kepada saudara-saudara kita yang belum mengetahuinya.

Semoga Allah Taala Membalas Amal Ibadah Kita.

------------------------------------------------------
Penjelasan Tambahan :
Beberapa versi sebab-musabab dirayakannya hari Kasih sayang ini, dalam The World Book Encyclopedia (1998) melukiskan banyaknya versi mengenai Valentine’s Day.
1. Perayaan Lupercalia adalah rangkaian upacara pensucian di masa Romawi Kuno (13-18 Februari). Dua hari pertama, dipersembahkan untuk dewi cinta (queen of feverish love) Juno Februata. Pada hari ini, para pemuda mengundi nama –nama gadis di dalam kotak. Lalu setiap pemuda mengambil nama secara acak dan gadis yang namanya keluar harus menjadi pasangannya selama setahun untuk senang-senang dan obyek hiburan. Pada 15 Februari, mereka meminta perlindungan dewa Lupercalia dari gangguan srigala. Selama upacara ini, kaum muda melecut orang dengan kulit binatang dan wanita berebut untuk dilecut karena anggapan lecutan itu akan membuat mereka menjadi lebih subur.

Ketika agama Kristen Katolik masuk Roma, mereka mengadopsi upacara ini dan mewarnainya dengan nuansa Kristiani, antara lain mengganti nama-nama gadis dengan nama-nama Paus atau Pastor. Di antara pendukungnya adalah Kaisar Konstantine dan Paus Gregory I (lihat: The Encyclopedia Britannica, sub judul: Christianity). Agar lebih mendekatkan lagi pada ajaran Kristen, pada 496 M Paus Gelasius I menjadikan upacara Romawi Kuno ini menjadi Hari Perayaan Gereja dengan nama Saint Valentine’s Day untuk menghormati St Valentine yang kebetulan mati pada 14 Februari (lihat: The World Book Encyclopedia 1998).

The Catholic Encyclopedia Vol. XV sub judul St. Valentine menuliskan ada 3 nama Valentine yang mati pada 14 Februari, seorang di antaranya dilukiskan sebagai yang mati pada masa Romawi. Namun demikian tidak pernah ada penjelasan siapa “St. Valentine” termaksud, juga dengan kisahnya yang tidak pernah diketahui ujung-pangkalnya karena tiap sumber mengisahkan cerita yang berbeda.

Menurut versi pertama, Kaisar Claudius II memerintahkan menangkap dan memenjarakan St. Valentine karena menyatakan tuhannya adalah Isa Al-Masih dan menolak menyembah tuhan-tuhan orang Romawi. Maha Tinggi Allah dari apa yang mereka persekutukan. Orang-orang yang mendambakan doa St.Valentine lalu menulis surat dan menaruhnya di terali penjaranya.

Versi kedua menceritakan bahwa Kaisar Claudius II menganggap tentara muda bujangan lebih tabah dan kuat dalam medan peperangan dari pada orang yang menikah. Kaisar lalu melarang para pemuda untuk menikah, namun St.Valentine melanggarnya dan diam-diam menikahkan banyak pemuda sehingga iapun ditangkap dan dihukum gantung pada 14 Februari 269 M (lihat: The World Book Encyclopedia, 1998).

Kebiasaan mengirim kartu Valentine itu sendiri tidak ada kaitan langsung dengan St. Valentine. Pada 1415 M ketika the Duke of Orleans dipenjara di Tower of London, pada perayaan hari gereja mengenang St.Valentine 14 Februari, ia mengirim puisi kepada istrinya di Perancis. Kemudian Geoffrey Chaucer, penyair Inggris mengkaitkannya dengan musim kawin burung dalam puisinya (lihat: The Encyclopedia Britannica, Vol.12 hal.242 , The World Book Encyclopedia, 1998).

Lalu bagaimana dengan ucapan “Be My Valentine?” Ken Sweiger dalam artikel “Should Biblical Christians Observe It?” (www.korrnet.org) mengatakan kata “Valentine” berasal dari Latin yang berarti : “Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuat dan Yang Maha Kuasa”. Kata ini ditujukan kepada Nimrod dan Lupercus, tuhan orang Romawi. Maka disadari atau tidak, -tulis Ken Sweiger- jika kita meminta orang menjadi “to be my Valentine”, hal itu berarti melakukan perbuatan yang dimurkai Tuhan (karena memintanya menjadi “Sang Maha Kuasa”) dan menghidupkan budaya pemujaan kepada berhala. Dalam Islam hal ini disebut Syirik, yang artinya menyekutukan Allah Subhannahu wa Taala. Adapun Cupid (berarti: the desire), si bayi bersayap dengan panah adalah putra Nimrod “the hunter” dewa Matahari. Disebut tuhan Cinta, karena ia rupawan sehingga diburu wanita bahkan ia pun berzina dengan ibunya sendiri! . Layaknya seorang muslim segera bertaubat mengucap istighfar, "Astaghfirullah", wa naudzubillahi min dzalik. (Dari berbagai sumber).

Sumber artikel : http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=443